Cerpen Peterpan: Sally Sendiri
Jakarta, 16 Januari 1991
Pagi ini aku mencoba untuk menemuimu.
Sekedar mencari kabar tentangmu yang
tiba-tiba saja menghilang. Ibumu masih
cantik seperti biasanya. Dengan hangat
aku disuguhi teh hijau degan aroma melati.
Tapi wajahnya lebih tirus dari terakhir aku
melihatnya.
Kami saling menanyakan kabar. Ternyata
benar, ibumu akhir-akhir ini kurang sehat.
Lalu aku menanyakan tentang kamu.
Maaf, karena aku akhirnya mencari tahu
dari ibumu. Salahmu sendiri tidak pernah
memberi kabar. Bahkan tak pernah
membalas pesan dariku, walaupun hanya
satu kata.
Tapi ternyata ini semua sia-sia. Bahkan
semakin menusuk hatiku. Ibumu
menyuruhku melupakanmu. Aku diminta
kembali ke rumah dan jangan kembali
kesana lagi. Katanya kita tidak mungkin
bersatu. KENAPA?
Apakah karena penyakitku? Ya, akhir-
akhir ini aku sering sekali mengunjungi
rumah sakit. Kata ibu, hanya periksa
kesehatan. Aku tahu ada yang salah
dengan tubuhku. Tapi aku berjanji akan
segera sembuh jika kamu datang. Aku
mohon!
Jakarta, 20 Januari 1991
Maaf aku baru bisa menulis surat
sekarang. Beberapa hari ini aku sedikit
lemah. Ibuku meminta untuk beristirahat.
Lagipula, ada puluhan surat yang belum
kamu balas. Satu pun belum. Semenjak
beberapa bulan yang lalu.
Anggap saja aku sedang menulis diari.
Walalupun ada yang berkata bahwa orang
yang gemar menulis diari adalah orang-
orang yang tak mampu menyampaikan
perasaannya. Seorang penyendiri dan
tidak mampu berbagi. Tapi mereka tidak
salah. Aku hanyalah sebuah raga yang
kehilangan jiwa. Sulit berkomunikasi lagi
dengan orang-orang sekitar. Aku atau
mereka yang gila, Aku tak tahu!
Jakarta, 21 Januari 1991
Sayang, sebentar lagi ulang tahunmu. Aku
sudah menyiapkan kado. Ayo rayakan!
Tolong balas surat ini! Ini perintah!
Jakarta, 22 Januari 1991
Aku mengerti mungkin kamu bosan. Bisa
jadi kamu sudah ada penggantiku di
hatimu, pilihan orangtuamu. Aku tak
percaya hati sepertimu mampu goyah oleh
seorang cinta yang lain. Coba kamu ingat
lagi ketika dulu!
Setiap pulang sekolah, kita selalu
menghabiskan waktu bersama. Hingga
saat kuliah kita tak pernah berpisah.
Setiap sabtu kamu datang kerumah untuk
bermain catur dengan ayah. Kadang-
kadang aku yang datang ke rumahmu
untuk belajar memasak pada ibumu.
Walaupun sering bertengkar, kita tak
pernah berpikir untuk berpisah. Sampai
akhirnya kita sama-sama lulus dan mulai
bekerja. Kamu akhirnya dikirim ke
Banjarmasin. Waktu itu kita menangis
bersama, lalu kamu berjanji akan mengirim
sekotak coklat setiap minggu. Masih
ingatkah, Sayang?
Kini aku terlihat menyedihkan. Bagai
seekor belalang yang kehilangan kakinya.
Tak mampu ke rumah atau sekedar berlari
dari musuh yang ingin menerkam. Bahkan
mati pun lebih baik dari pada keadaanku
sekarang.
Jakarta, 25 Januari 1991
Aku sakit. Kali ini benar-benar sakit.
Sudah beberapa hari demam. Jika
memang kamu sedang bersama
kekasihmu, bolehkah aku meminta izin
untuk meminjammu? Aku rindu.
***
Wanita berkerudung biru tua itu mencoba
menahan tangisnya. Tangan-tangannya
yang mulai keriput terus menggenggam
jemari putrinya yang sangat lemah.
Sesekali dia kembali membaca kembali
tulisan tangan putrinya yang selama ini
disimpan.
“Ibu tahu ini untuk Vino. Ibu tahu. Tapi ibu
menyimpannya. Maaf, selama ini ibu yang
menyimpannya.”
Matanya berkaca-kaca, sesekali meledak
bagaikan kesedihan yang terlalu lama
ditahan. Ditatapnya wajah putrinya yang
sudah semakin pucat. Wajah yang dahulu
selalu ceria kini kaku dan dipenuhi selang-
selang yang menyakiti raganya. Sudah
lima hari Sally terbaring dalam koma.
“Lupakan dia, Sally. Lupakan!” bisik wanita
itu lirih. Terlalu lirih hingga tak ada yang
jelas terdengar. Tertupi isakan yang
berkumpul di rongga mulutnya. Memakan
habis semua kata yang keluar dari dalam
hati.
“Sadarlah! Kalian pernah bertemu. Lima
bulan yang lalu. Vino mengajakmu pegi ke
Bandung dan kecela.......”
Tak ada kata yang mampu meneruskan.
Bisu mulai menggerogoti ruangan yang
hanya dihadiri dua wanita. Antara mereka
yang menangis dan yang tak mampu lagi
menangis.
Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis
http://perikamar.blogspot.com/2012/07/cerpen-peterpan-sally-sendiri_29.html
0 Komentar