Menunggu Pagi (Bersamamu)
Rasanya tidak pernah jenuh aku
mendengarkan lagu ini. Lagu yang
dipopulerkan oleh grup band yang dulu
namanya Peterpan tapi sekarang sudah
berganti menjadi NOAH *Menunggu pagi*, tapi
selamanya yang kuingat mungkin kenangan
yang pernah tercipta berkat lagu ini. Yah, lagu
ini adalah lagu tentang kisah yang dulu pernah
ada. Kisah tentang KITA yang sampai
sekarang tidaklah pernah menjadi KITA yang
selama ini aku harapkan. Sebab, sampai
sekarang aku masih sendiri. Dan mungkin
akan selalu sendiri menunggu pagi, menunggu
mentari yang dulu pernah kita tunggu. Mentari
Pagi yang terindah yang pernah ku songsong,
yang pernah kutunggu. Mungkin karena kamu
ada disebelahku.
Aku ingat dingin malam itu. Dingin yang
dikombinasikan oleh semilir angin malam di
sebuah pantai yang ada di pulau jawa. Aku
ingat saat itu kamu duduk di depan api unggun
yang sudah mulai redup. Api unggun sisa dari
acara malam puncak dari acara perpisahan
yang diadakan oleh kelas kita. Aku lihat saat
itu dingin malam sudah mulai menyerangmu,
terlihat jelas dari tingkahmu yang sibuk
mencoba mendekatkan diri ke api unggun
yang sebentar lagi akan habis. Berbagai cara
kamu coba untuk menjadikan api itu tetap
menyala. Saat itu aku hanya berani melihat itu
dari kejauhan. Ingin rasanya mendekatinya,
ingin rasanya menjaga agar api unggun itu
tetap menyala hingga bisa selalu
menghangatkan kamu. Bahkan bila ia
mengizinkan aku bersedia menjadi api unggun
yang menghangatkanya. Meski panas dan itu
membakarku, aku rela demi memberikan
kehangatan baginya. Sebab, diam-diam aku
mencintainya jauh sebelum ini, diam-diam aku
mencintainya meskipun selama ini dia belum
mengetahuinya. Mengutip sedikit sajak dari
Tuan DJoko Sapardi:
“Aku ingin Mencintaimu dengan sederhana.
Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikanya abu.”
Sebab, meskipun menjadi abu. Setidaknya
kayu itu bisa menerangimu, memberikan
kehangatan bagimu saat kamu membutuhkan.
Dan doaku saat itu aku ingin seperti itu.
harapku aku ingin mencintaimu dengan
sederhana.
Beberapa saat aku memerhatikanmu lalu
keresahanmu muncul, api unggun sebentar
lagi padam. Aku lihat kamu celingukan ke kiri
dan kekanan. Entah itu sedang mencari kayu
atau mencari orang yang mungkin bisa
membantumu menyalakan kembali api itu.
Timbul naluri kepahlawanan dalam hati. Ingin
rasanya aku manghampirinya dan membantu
menyalakan api unggun itu. Tapi, entah
kenapa kaki rasanya berat. Aku malu, aku
takut malah mengganggu moment asyikmu itu.
Terlalu lama aku berpikir, kulihat ia sudah
beranjak dari tempatnya. Sial, sudah pergi
dianya. Kecewa banget, padahal justru
moment seperti itu yang selama ini aku tunggu.
Tapi akhirnya kuputuskan untuk mencari
beberapa potong kayu dan menyalakan
kembali api unggunnya.
“Dingin banget rasanya disini, Pantesan saja
kamu tidak tahan, amel.” Pekik ku sendiri.
“Itulah day. Dari tadi nyariin orang yang mau
bantuiin nyalain api unggun gak ada. Udah
pada tidur semua.” Tiba-tiba Amel datang dan
menyahutin ucapan ku tadi.
“ooppzz.. kamu datang lagi rupanya.” Balasku
malu.
“ kamu merhatiin aku ya dari tadi? Bukannya
bantuin nyalain apinya lagi.”
“Kan ini udah aku nyalain lagi.. hehehe”
“Aku boleh donk nebeng hangetin badan.
Dingin banget.”
Aku pun mengangguk. Senang rasanya bisa
duduk bersebelahan dengan kamu saat itu dan
justru membuat aku malah salah tingkah.
“ Kamu kok senyum-senyum aja day? Knapa?
seneng ya bisa duduk berdua sama aku”
Jlebb.. kok bisa ya kamu tahu pikiran aku. Dan
hal itu semakin membuntukan pikiranku,
semakin menutup erat mulutku, padahal aku
sudah menyiapkan segudang gombalan yang
rencananya ku pakai untuk moment seperti ini.
Aaakkkk.. kok jadi tegang begini.
“aahhh.. udahlah day. Gak usah pake grogi
gitu. Aku juga seneng bisa duduk disini.”
Lanjutnya lagi seperti mengerti keadaanku ini.
Tapi aku tidak berani menebak-nebak maksud
dari ucapannya yang dia bilang seneng bisa
duduk disini.
“Makasih, ya.” Ucapan spontanitas yang
terlontar dari mulutku. “Haaduuuuhh, kok
makasih ya..” Keluhku dalam hati. Untung tak
ada reaksi yang berarti darinya. Dia hanya
tersenyum manis dengan tingkahku. Uuuhhhh,
nambah manis rasanya senyum kamu jika
dilihat dari sedekat ini, sebab selama ini aku
hanya bisa mencuri pandang senyummu dari
kejauhan. Namun kali ini senyum ini bisa
langsung kulihat dari jarak yang sedekat ini.
Alhamdulillah banget.
“Ohh tuhan, janganlah ini cepat berlalu.”
Pintaku dalam hati. Biarlah diam-diaman yang
penting bisa sedekat ini sama Amel sang
Primadona kelas ku.
Satu jam berlalu begitu saja. Kamu sibuk
dengan lamunanmu dan aku terpaksa
menikmati kegrogianku, menikmati ketidak-
berkutikanku, menikmati kebisuanku,
kebuntuan yang justru datang disaat momen
yang teramat langka. Tapi biarlah, sejujurnya
aku sudah puas. Sebab, diam-diam aku bisa
merasakan bayanganku mencumbu mesra
bayanganmu. Bayanganku menghangatkan
bayanganmu dengan pelukan mesra.
Disamping itu aku puas, memandangi segala
keindahan yang terpancarkan dari wajahmu.
Mungkin kamu tidak menyadarinya. Sebab,
saat ini kamu sedang tenggelam bersama
lamunanmu. Entah tentang pangeran berkuda
yang tampan yang sewaktu-waktu bisa muncul
dari laut Atau pangeran kodok yang suatu saat
bisa berubah menjadi pangeran yang tampan.
Whateverlah, bagiku yang penting kamu
senang, aku ikut senang.
“Day, apinya udah pengen mati tuh. Gak ada
yang bisa dibakar lagi apa yak?” Tiba-tiba
Amel berbicara memecahkan keheningan yang
lama tercipta.
“ Mmm.. kayu bakarnya udah gak ada lagi,
mel”
“iiisss… masa iya. Padahal aku masih pengen
duduk lama disini. Tapi dingin kalau ga ada api
unggun.”
“ Mmm.. kan ada aku. Biar aku peluk. Hehe”
Candaku waktu itu.
“emang pelukan kamu bisa menghangatkan,
trus bisa tahan sampe pagi gak?” Tanya amel.
Entah sengaja memanaskan aku atau emang
memancing aku, maksud dia mengatakan itu
padaku.
“Ee busyyengg deng. Jangankan
menghangatkan mel, bisa membakar nih
pelukan. hehe” Balasku. “Cuma kalau sampe
pagi sich gak tau juga.” Lanjutku sambil
langsung mencoba memeluk Amel.
“oooppppzzzz… langsung-lansung aja dia
mah.” Ujar amel seraya menolak pelukanku.
“Iyalah, kucing di tawarin daging, ya langsung
digasrak.” lanjutnya lagi.
“hahaha.. kirain betulan pengen ngetes..”
jawabku penuh perasaan malu.
“Maaf ya day. Aku gak enak kalau nanti
teman-teman kita ada yang lihat.”
Aku diam seperti mengiyakan perkataannya.
“Kita cari kayu lagi yuk Day! Gak seru kalau ga
ada api unggunnya.” Ajak Amel.
“kamu tunggu disini aja biar aku yang cari.”
Balasku.
Aku langsung beranjak dari tempat untuk
mengambil kayu bakar yang tadi sengaja aku
simpan. Sebenarnya aku tadi pura-pura
kehabisan kayu bakar. Berharap setidaknya
ada pelukan yang menghangatkan tadi benar-
benar terjadi. Hahhahaha.. Ngarep banget.
Bersama nyala api unggun itu. Kebersamaan
kita pun semakin hangat. Kali ini, kita sudah
saling mengeluarkan kata-kata. Cerita-cerita
tentang masa kecil, tentang masa sekolah bla..
bla… blaa. Sebenarnya saat itu kantuk
menyerangku. Tapi berhubung kamu belum
tidur jadi kumanfaatkan waktu-waktu
bersamamu saat itu.
“Kamu suka bergadang ya?” tanyaku waktu
itu.
“Kadang-kadang. Tapi ya gak terlalu sering.
Cuma kalau lagi nonton bola atau ngerjain
tugas sekolah. Emang kenapa? kamu udah
ngantuk ya.?”
“gak kenapa-kenapa, Cuma Tanya aja. Kalau
aku mah susah tidur mel. Setiap malam kalau
belum dengar azan subuh belum ngantuk mel.”
“Waduh… Gawat tuh. Pantesan setiap hari
aku perhatiin dikelas mata kamu merah terus.
Udah gitu muka pucat karena kurang tidur,
mungkin.” Perkataan dari yang sedikit
membanggakan. Kamu bilang kamu merhatiin
aku dikelas. Oh, senangnya. Tapi, mungkin
Cuma biasa saja. Saru, sebab tak jarang aku
kena tegur karena sering tertidur dikelas.
“Ya gitulah mel. Susah kalau kena penyakit
Insomnia, mel.” Lanjutku.
Sejenak kamu diam dan mengotak-atik Hp-mu.
Dan lalu kamu memainkan lagu itu, Lagu
*Menunggu Pagi* Milik Peterpan waktu itu.
Sambil ditemani music itu kita terus bercerita.
Dan waktupun terus berlalu.
“Loh kok dari tadi lagu itu aja yang kamu putar,
mel.” tanyaku.
“Iya day. Aku suka banget sama lagu ini. Ini
lagu yang sering dinyanyiin sama mantan
aku..” Suaranya terputus, suasana sedih pun
tiba-tiba muncul.
“Mantan kamu, trus?” tanyaku penasaran.
Sambil berteteskan airmata Kamu bercerita
tentang kisah cintamu yang kandas. Inti yang
bisa kutangkap dari ceritamu bahwa Mantan
kamu pergi meninggalkanmu karena tewas
dalam sebuah kecelakaan.
“Kamu tahu day. Waktu itu dia pulang sekitar
jam 4 subuh. Dia habis manggung di sebuah
café. Waktu itu sebelum pulang diasempat
telfon aku. Dia cerita, terakhir dia menyanyikan
lagu ini. Dan banyak orang yang suka.
Katanya, rencananya lagu ini bakal menjadi
lagu wajib yang mesti dia bawakan setiap kali
ada even/ festival music day. Dia menyarankan
aku untuk sering-sering dengerin lagunya.
Rasanya saat itu ia seperti berwasiat
kepadaku. Hahaha.. wasiatnya sebuah lagu
yang nyatanya menjadi lagu kenangan buat
aku. Dan meski ada kenangan yang
menyedihkan dibalik lagu ini namun aku suka
dengan lagu ini dan selalu aku dengarkan kala
rindu akan dirinya hadir di setiap sepiku.”
Ujarnya lirih.
Saat itu, entah kenapa tiba-tiba tanganku
menggapai pundaknya. Dia hanya diam saja
dan dalam sekejap dia pun hanyut dalam
pelukanku. Dan aku menikmati itu sambil
mendengarkan setiap kata yang keluar dari
mulutmu.
“Nyaman juga ya pelukan kamu.” Ujarnya
polos.
Spontan karena kaget bercampur malu, aku
pun menarik lenganku melepaskan pelukan itu.
Tersadar dan langsung teringat perkataanmu
tadi sewaktu menolak kamu menolak
pelukanku.
“iiisss.. kok dilepas pelukannya. Padahal baru
aja aku ngerasa nyaman.” Protes Amel dan
membuat kepercayaan diriku untuk
memeluknya tumbuh lagi.
Ingin rasanya bibir ini mengucapkan kalimat-
kalimat cinta kepadanya. Tapi apalah daya,
aku tak ingin merusak keadaan ini. Tunggulah
nanti saat ada momen-momen lainnya pasti
akan aku ungkapkan cinta yang selama ini
ada. Kulihat wajahnya seperti menggambarkan
kepuasan. Sekilas juga kulihat dimatanya ada
sesuatu yang beda, mungkinkah itu Cinta
Untukku.? Aku coba menafikan rasa itu saat
itu. Mungkin karena tidak terlalu yakin dan
takut rasa itu tidak berbalas. Dan saat itu aku
lebih memilih untuk menjadi teman bicara yang
baik di waktu yang baik juga. Dan dalam
sekejab Mentari pagi pun menyingsing.
“Indah banget ya mentarinya, day.” Ujar Amel
yang langsung aku aminin.
Begitulah waktu kita melewatkan malam itu.
Singkat, tapi cukup padat bila tuk dikisahkan.
****
Kenangan yang menjadikan perpisahan
sekolah itu justru malah mendekatkan aku dan
kamu. Benarkan? Setidaknya aku bisa melihat
ada sesuatu yang lebih saat kamu memandang
aku pasca kejadian malam itu. Dan berbekal
kayakinan itu aku pun berencana
mengutarakan perasaan tertinggal di hati
pasca perpisahan itu. Apapun hasilnya nanti,
itu soal belakangan. Yupz, malam nanti aku
berencana untuk mengujungi kediamanmu,
mengajak kamu makan disuatu tempat dan
mengatakan semuanya. Aku harap kamu bisa
mengerti perasaan ini. Dengan membekali diri
dengan kapercayaan diri yang tinggi, akupun
mendatangi kediaman kamu.
“Assalamu’alaikum..” ucapku ketika tiba di
depan rumahmu. Sempat berkali-kali aku
ucapkan salam di depan rumahmu. Sebelum,
akhirnya seorang wanita paruh baya
membukakan pintu tepat disaat keputusaasaan
hampir melandaku karena terlalu lama mereka
membuka pintu.
“Wa’alaikum salam, nak.” Wanita paruh baya
itu menjawab salam. Sebelum mempersilahkan
aku masuk, beliau sempat menanyakan perihal
kedatanganku. Aku langsung menjawab
bahwa niatku ingin berjumpa dengan Amel.
“Maaf bu. Saya Enday bu. Temen sekolahnya
amel, dulu. Amelnya ada, bu.?” Tanyaku. Si
Ibu Hanya diam sambil mempersilahkan aku
masuk. Raut mukanya berubah seketika.
Kesedihan lansung terpancar dari wajahnya.
Mendapati Ibu itu hanya terdiam aku pun
kembali menanyakan perihal Amel. Sontan, sI
Ibu pun langsung menumpahkan airmatanya.
Aku heran, tapi aku mencoba bersikap sebiasa
mungkin. Sambil terus bertanyan dalam Hati.
‘What’s Wrong ni?’
“Maaf nak. Tadi nama kamu siapa?”
Tanyannya lirih.
“ Saya Enday bu.” Jawabku pelan-pelan.
“Sebentar ya, nak” ujar Ibu itu dan lalu bangkit
dan lalu masuk kedalam rumahnya. Penasaran
banget waktu itu, seperti ada sesuatu yang
ingin disampaikana. Aku pun menganggukkan
kepala dan menunggu berita apa yang akan
disampaikan oleh ibu itu. Selang beberapa
waktu ibu itu pun datang dan langsung
menyodorkan sebuah buku. Seperti buku
catatan harian. Dari sampulnya aku melihat
tertulis nama Amel. “Oppss, ada apa nich?”
batin ku.
“Itu buku catatan hariannya Amel. Ibu
menemukan di dalam laci meja di kamarnya.
Sebagian tulisannya itu bercerita tentang
kamu, Enday kan? Kami sekeluarga sempat
bertanya siapakah kamu itu. Dari tulisan itu
pun kami melihat sepertinya amel begitu
mengagumimu, nak. Waktu itu kami sempat
ingin mencari tahu tetang kamu. Tapi, dia
melarang kami…” tangis pun kembali tumpah
dari mata Ibu.
Aku yang semakin penasaran dengan maksud
dari ini semua, akhinya memutuskan untuk
bertanya lagi perihal keberadaan amel.
“ Maaf lagi buk, Amelnya sekarang dimana
buk?”
“Amel sudah pergi nak. Dia sudah tiada sejak
sebulan yang lalu. Dia terkena penyakit Kanker
ganas dan penyakit itu pula yang merenggut
nyawanya. Dia Bla…. Bla… bla… taa.. ta..
ta…” Ibu itu bercerita panjang lebar tentang
kejadian itu.
“Innalillahi.” Sepotong kata yang sempat
terucap disela-sela cerita ibu itu. Duuuppp..
kali ini, kesedihan merambat pelan. Yang
semula hanya ibu itu yang menangis, kini
rasanya airmataku sudah memenuhi setiap
sela-sela mataku. Mungkin tinggal hitungan
waktu saja airmata itu bisa tumpah juga.
Berhubung aku enggan menumpahkan
airmataku didepan ibunya. Aku memilih untuk
pamit, dan ibu itu pun mengizinkan aku untuk
pulang.
“Maaf Buk. Buku ini saya bawa pulang ya?
Kalau ibu mengizinkan.”
“Ooo.. bawa aja. Gak apa-apa. Mendiang
Amel sebelum ajalnya juga meninggalkan
pesan untuk kami, agar memberikan buku ini
kepada kamu, nak. Kalau bisa katanya. Tapi
sampai kini kami belum bisa mendapatkan info
tentang kamu. Alih-alih kamu datang, ya sudah
sekalian aja kamu bawa. Kebetulan banget.”
Jawab ibu itu.
“ makasih ya, Buk. Assalamu’alaikum.” Ucapku
sebelum meninggalkan rumahnya.
“ Wa’alaikum salam. Kalau ada waktu main-
main lah kesini nak. Kita cerita-cerita.” Balas
ibu itu.
“InsyaAllah buk.”
****
Singkat cerita. Setelah ku baca dengan
seksama buku catatan mu itu. Aku melihat
bahwa pasca kejadian yang ku sebut
“Menunggu Pagi Bersamamu” Itu, ternyata
menumbuhkan CINTA yang sebelumnya tidak
pernah ada bagi MU.
“Ternyata Pelukanmu itu Dahsyat Enday.
Pelukan yang belum pernah aku rasakan
selama ini. Pelukan itu yang membuat aku
jatuh cinta, pelukan yang menghangatkan,
persis seperti yang kamu bilang. Pelukan itu
menenangkan jiwa. Pelukan yang ternyata
mengangenkan aku selama ini. Nyaman sekali
waktu itu day. Aku berharap Aku bisa
merasakan pelukan itu Lagi, sebelum ajal
menjemput….” Sepenggal tulisan yang kamu
tulis di buku itu. Yang membuktikan betapa
kejadian malam itu berpengaruh dalam
hidupmu.
“Aku tuh nunggu kamu Nday.. Nunggu.. Setiap
hari, setiap bunyi dering telepon aku selalu
berharap itu dari kamu. Setiap ada ketukan
pintu di rumahku, aku sesegera mungkin
membukakannya dan berharap itu kamu yang
datang. Beberapa kali aku coba datang ke
sekolah dan berharap bisa bertemu dengan
kamu. Beberapa kali juga aku mencoba
menanyakan perihal kamu kepada beberapa
teman sekolah kita, mereka semua bilang
mereka loss kontak denganmu. Ketika ku tanya
tentang rumahmu pun nihil hasilnya. Tak ada
yang tahu tentang kamu. Bagiku kamu
Misterius banget ya, persis se-misteriusnya
CINTA yang hadir padaku.” Sepenggal lagi
kisah yang kau torehkan di buku catatan itu.
****
Dear Diery, hai juga Enday yang saat ini
masih belum aku bisa temui.
Mungkin ini tulisan aku yang terakhir. Sebab
rasanya kok jadi percuma, aku tumpahkan
semua yang aku rasakan disini sedangkan aku
tidak pernah tahu pasti kamu akan membaca
ini. Dan juga, aku tak pernah tahu pasti
apakah disana kamu memikirkan aku. Tapi
setidaknya aku ingin Menyampaikan berita
tentang perasaanku bahwa AKU SANGAT
MENCINTAI KAMU. Aku sadar umurku
tidaklah panjang. Setelah Vonis Dokter yang
merawat aku, yang menyatakan bahwa
kemungkinan kecil aku bisa bertahan dengan
penyakit Kanker Otak yang sudah masuk ke
stadium 4. Dokter itu bilang katanya aku harus
kurangin mikir-mikir berat. Bagaimana
mungkin? Sedangkan yang selama ini aku
pikirkan hanya kamu. Lalu haruskah aku
berhenti mikirin kamu? Enggak mungkin. Aku
rela kok harus pergi ninggalin semua. Aku
rela, asalkan aku masih bisa terus bersama
kamu. Meskipun hanya dengan memikirkan
kamu. Meskipun hanya membayangkan
kehadiranmu, mengkhayalkan kamu datang
dan memeluk aku. Oia, hangat pelukan kamu
masih ada loh sampai sekarang. Padahal udah
berkali-kali aku coba melupakannya tapi kok
gak bisa ya? Sebegitu dahsyatnya aku
rasakan Nday.
Lewat tulisan ini, minimal aku ingin kamu tahu
aku merindukanmu Enday. Aku rindu kala
kamu memeluk aku. Nyamannya terasa
sampai sekarang. Mungkin, berkat itulah saat
ini aku masih bisa tegar, meskipun aku tahu
sebentar lagi ajal akan menjemput dan kamu
masih juga belum datang menemuiku. Tak
mengapa bagiku, day. Mungkin, ada baiknya
juga kamu tak mengetahui tentang penyakitku
ini. Jadi setidaknya tidak ada beban yang
mungkin memberatkan kepergian aku Day.
Oia, belakangan ini aku suka bergadang day,
dari beranda di kamarku aku sering menunggu
pagi day, sendiri sambil mendengarkan lagu
ini, day. Lagu yang pernah kita dengarkan
waktu itu. Tapi kok, rasanya lagu itu semakin
sedih yah kedengarannya. Mungkin karena
rindu kamu kali, yak. Bahkan, Mentari pun tak
seindah waktu itu, day. Oh God…!! I MISS U
SO MUCH day.
Udah dulu ya day. Ternyata buku ini pun
bahkan tak mampu menggambarkan
bagaimana rasanya perasaan aku ke kamu.
Lagian tangan aku pun kayanya udah tak
mampu nulis banyak-banyak. Lemas banget
day. Tapi, tenang aja, mungkin setelah ini
semua lewat aku ingin minta tolong kepada
orangtua ku untuk mencari keberadaanmu dan
menyerahkan buku ini ke kamu. Aku titip cinta
aku ke kamu lewat buku ini. Tapi kalau
memang berat untuk kamu nerima kenyataan
ini kamu bisa kok buang buku ini. Tapi aku
mohon satu hal cinta aku jangan ikut di buang
yah. J
Oia Satu Lagi. Dibawah ini segaja aku tulis
lirik lagu ini. Lagu NOAH – Menunggu pagi
untuk kamu. Kalau kamu ingin mengenangku.
Kamu dengarkan aja lagunya. Selama ini aku
juga begitu kok. Selamat Tinggal Enday.
****
Seketika tumpah pula airmata yang sedari tadi
tertahan, mel. Selepas aku membaca tulisanmu
yang terakhir itu. Mungkin ini kali pertama aku
menangis. Menangis karena kehilangan,
mungkin juga menangis karena penyesalan
sebab tak mampu katakan semua perasaan
yang selama ini aku pendam.
“ Apa yang terjadi dalam hati ku…
Ku masih disini menunggu pagi…
Seakan letih tak menggangguku..
Ku masih terjaga menunggu pagi..
Entah kapan malam berhenti..
Teman aku masih menunggu.. pagi..”
Sebait itulah yang dapat aku nyanyikan Mel,
Hanya sebait itu. Tapi percayalah sampai kini,
aku masih menyimpan buku itu. Aku juga
masih selalu mendengarkan lagu itu, seperti
pinta kamu.
RIP To Amelia
Doaku akan selalu teriring bersama setiap
kesedihan yang timbul sebab teringat akan
kamu. Teringat akan kisah di balik lagu ini.
Terima kasih untuk kisah yang pernah tercipta.
Terima kasih karena kamu mau mencintaiku.
****
Kisah Terinspirasi dari Lagu NOAH –
Menunggu Pagi
#30harilagukubrecerita
By @Pembunuh_sepiXX
http://dyansyahnoer.tumblr.com/post/31784903163/menunggu-pagi-bersamamu
1 Komentar
Kisahnya sangat mengharukan bray,,
BalasHapusNgomong" tntang lagu menunggu pagi saya juga suka dngerin lagunya klau sepi menghampiri sya,,
Tetep tabah, tegar n semangat ya sob,,
Nice to read your diary,,