"Pada akhirnya, kesendirian akan
mengajarkan arti ketabahan"
Sehari sejak kepergian Mas Ridho. Aku
memilih menghabiskan waktu dengan
teman-teman kampusku. Meskipun aku
tahu ada salah seorang dari mereka yang
ada maunya bertandang ke kosku, lewat
aku. Meskipun begitu selalu banyak
keceriaan tercipta. Aku menemukan
kembali semangat dari kehilangan.
Setidaknya kehilangan telah mengajariku
untuk menjaga yang kumiliki saat ini.
Berbeda dengan kasus kehilangan kamu,
Aretha. Kehilangan kamu mungkin
penyesalan yang hingga entah kapan akan
berakhir. Penyesalan tersebab
kebodohanku sendiri. Mencintaimu diam-
diam. Tapi, setidaknya hal itu
mengajarkanku untuk lebih berani
mengungkapkan. Semua tergantung pada
waktu. Entah kapan aku memiliki
keberanian mengungkapkan padamu. Atau
bisa jadi saat aku memiliki keberanian itu,
aku sudah menjadi milik orang lain, sama
seperti kamu yang menjadi milik Adrian
saat ini.
Ah! Aretha... tentangmu takkan habis
diceritakan, bahkan oleh air mata
sekalipun. Kamu begitu berharga bagiku.
Ada sesuatu yang membuatmu tampak
berbeda di mataku. Dan, hanya aku yang
tahu.
Sore itu aku menunggu kedatangan teman-
temanku untuk mengerjakan tugas
kampus. Sudah hampir pukul 16.00 Wita,
waktu yang dijanjikan, tetapi belum satu
pun tampak batang hidungnya. Entah
mereka lupa atau memang sedang
berhalangan aku tidak tahu. Sebab tidak
ada kabar sama sekali. Aku juga tak ambil
pusing. Aku memilih menghabiskan waktu
merawat kembang kertasku. Kembang
kertas yang selama ini menjadi pengganti
dirimu.
Bunga-bunga kembang kertas sudah mulai
bermekaran. Sayang rasanya kalau dipetik.
Aku membiarkannya agar warna-warninya
semakin membuat duniaku lebih indah.
Seperti ini yang kuinginkan dari kenangan.
Mengenangnya bukan sebagai luka, tetapi
bahagia. Kini aku benar-benar mengerti
tentang bagaimana mengorganisir setiap
titik di hati agar bersekutu dengan luka.
Salah satunya dengan senyum dan tawa.
Senyum yang mengajarkan kekuatan, tawa
yang mengingatkan kesedihan.
Kuambil seember air di keran belakang kos
untuk menyiram kembang kertasku. Ah!
Ternyata macet. Sama persis saat aku
ingin mengucapkan kata cinta padamu.
Saat niat sudah bulat, tapi ada satu hal
yang menyumbat tenggorokanku. Bisu.
Aku bergegas ke rumah induk untuk
melaporkannya kepada Ibu Kos. Tak lupa
membawa selembar kertas semacam surat
yang ingin kuberikan pada anaknya, Sally.
Tak ada jawaban saat aku mnegucapkan
salam. Kudengar sebuah suara yang
kukenal menjawab dari dalam saat aku
mengucapkan salam untuk ketiga kalinya.
"Eh... Arion. Ada apa?" tanyanya saat tiba
di depan pintu.
"Oh... eh... itu... anu ...," kataku tergagap.
Bukan untuk pertama kalinya aku seperti
ini. Aku selalu saja begini saat bertemu
dan berbincang dengannya. Ada sebuah
perasaan yang memang tidak bisa
kuungkapkan. Tapi bukan seperti
perasaanku padamu. Ini adalah perasaan
yang berbeda. Antara segan dan grogi.
Mendadak aku tidak sanggup melanjutkan
kata-kataku. Mataku lekat menatapnya.
Seorang perempuan cantik berdiri di depan
pintu dengan menggunakan pakaian
sekadarnya saja. Daster putih polos yang
agak transparan. Sepertinya dia baru saja
bangun tidur. Darah mudaku seketika
menggelegak.
"Arion... kamu baik-baik aja kan?"
Aku masih terdiam mencoba meredam
gejolak jiwaku yang tiba-tiba muncul.
Kuamati sekelilingku. Sepi. Teman-teman
kosku jam segini memang belum pulang
kerja.
"Ayo masuk! Enggak usah malu-malu gitu,
ah."
Tiba-tiba entah setan apa yang
membuatku memenuhi ajakannya masuk
ke dalam rumah induk. Kuletakkan ember
di teras rumah itu lalu melangkah
mengikutinya sampai ruang tamu.
Aku duduk di sofa ruang tamu saat dia
menutup pintu. Rumah besar itu tampak
sepi. Hanya ada suara televisi dari ruang
tengah yang sepertinya menyiarkan acara
infotainment tentang pernkahan selebriti
yang usianya terpaut jauh.
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Ini adalah
pertama kalinya aku berada dalam satu
ruangan bersama seorang perempuan.
Dan, sayangnya perempuan ini bukan
kamu.
Aku gelisah dalam dudukku saat melihat
dia melangkah ke dapur. Bayangan
tubuhnya lekat dalam imajinasiku. Imajinasi
liar yang mengalahkan logika berpikirku.
Yang aku rasakan hanyalah detak jantung
yang sudah tidak seirama dengan detik
waktu. Aku pasrah dengan apa yang
mungkin akan terjadi.
Tak sampai lima menit, dia kembali ke
ruang tengah membawa dua gelas es
sirup. Aku masih terpaku memandangnya.
Aku berusaha menahan diri dan berdoa
semoga dia bukanlah setan nyata.
"Minumlah! Kamu pasti haus," katanya
lembut tepat di dekat telinga kananku.
Aku menoleh ke kanan. Dia sedang
tersenyum menyeruput es sirupnya.
Tanganku bergetar saat menyentuh
minuman yang ada di meja itu. Kukuasai
diriku agar gelas itu tidak sampai terjatuh.
"Kamu kenapa, Arion? Kok gemetaran
gitu?"
"Ah... enggak apa-apa, kok," jawabku
palsu.
Dia hanya tersenyum. Akhirnya satu
tegukan es sirup dari gelas bening
berembun itu menenangkan perasaanku.
Aku bisa kembali menemukan aku yang
seharusnya diriku. Tenang.
"Oya... hari ini aku kok enggak ngeliat Mas
Ridho ya? Dia kemana, Arion?" tanyanya
penuh selidik.
Aku semakin tenang dengan
pertanyaannya dan itu membuatku
bersyukur. Itu berarti saat ini bukanlah
awal dari aku sebagai seorang
pengkhianat. Kelegaan memenuhi rongga
dadaku.
"Dia ada tugas ke luar daerah selama dua
minggu, Mbak," jawabku.
"Oohhh... ."
"Oya, Ibu kemana, Mbak Sally? Kok sepi-
sepi saja," kataku berusaha memecah
keheningan.
Pertanyaan itu membuatnya menerawang.
Sepertinya ada sebuah beban yang ingin
dibagi denganku saat ini. Mungkin ini
alasan Sally mengajakku masuk.
"Arion... Aku udah enggak tahu lagi
dengan siapa akan berbagi cerita ini. Aku
lihat kamu orangnya bisa menyimpan
rahasia. Karenanya aku ingin berbagi
denganmu tentang masalahku," katanya
sambil menatap foto keluarga yang
terpampang besar di ruang tamu itu.
Aku mengenali perempuan yang duduk di
sebelah kiri, ibu kos. Hampir seumuran
dengan Sally. Mungkin dulu dia menikah
muda. Aku pun mengenali seorang
perempuan cantik yang berdiri di
belakangnya adalah Sally. Cantik dengan
gaun putih panjangnya. Sedangkan
seorang lagi, seorang laki-laki tampan, aku
sama sekali tidak mempunyai ingatan
tentangnya. Otakku mendadak blank. Aku
tidak mengenalinya. Tapi, aku yakin dia
adalah ayah Sally.
"Emang apa yang ingin Mbak bagi?"
tanyaku hati-hati. Aku memang suka
memanggilnya dengan panggilan
"Mbak". Selain untuk lebih menghormati,
umurnya juga di atasku, meskipun tidak
terlalu jauh. Hal ini yang membuatku segan
padanya. Saat ini dia sudah lulus kuliah
dan sedang mencari pekerjaan tetap selain
membantu ibunya menjaga kos ini.
"Sudah seminggu yang lalu Ibu
memutuskan untuk pergi dan menyerahkan
pengelolaan kos ini padaku."
Aku tidak berani memotong
pembicaraannya. Padahal sebenarnya
banyak hal yang ingin kutanyakan.
Tentang Ibu Kos, juga tentang Ayahnya.
"Sekarang aku sendiri. Ibu akhirnya
mengalah dan lebih memilih untuk tinggal
di rumah Perumnas setelah tahu kalau aku
juga ternyata mencintai Mas Ridho."
"Jadi... jadi ... ."
Aku tidak meneruskan kata-kataku. Aku
baru saja mendengar pengakuan yang
sama sekali tidak kuduga dari Sally. Dalam
hati aku merasa senang karena Sally
sudah berani menceritakan sebuah
kejujuran. Di sisi lain aku juga merasa iba,
karena saat ini Sally harus sendiri hanya
karena masalah laki-laki yang sama, Mas
Ridho.
"Aku tahu kamu pasti kaget. Masalahnya
udah selesai, kok. Mas Ridho juga udah
tahu tentang hal ini dengan alasan yang
berbeda. Tapi, satu yang belum Mas Ridho
tahu... perasaanku padanya."
Sally tiba-tiba menghentikan kata-katanya.
Dia kembali menerawang. Aku bisa
merasakan apa yang dirasakannya saat
ini. Aku pernah mengalaminya bersama
kamu. Saat kata-kata yang mahal enggan
keluar dari bibir yang bisa menipu hati.
Ruang tengah itu kembali hening. Aku dan
Sally sama-sama mengarungi suatu hal.
Aku dengan kenangan tentangmu,
sementara Sally entah kenangan dengan
siapa. Aku tak tahu.
Sekilas aku melirik jam dinding. Ternyata
aku sudah bersama dengan Sally selama
setengah jam. Banyak cerita suka dan
duka. Ada senyum getir dan tawa bahagia.
Campur aduk karena sebuah hati yang
mungkin tidak bisa membaca isyarat.
Setelah berbagi, kulihat Sally sudah bisa
tersenyum. Kudengar suara riuh di
halaman kosan saat Sally mengajakku
keluar.Kelegaan terpancar di wajahnya,
beda dengan aku yang harus mencari
jawaban yang paling tepat atas surat yang
dititipkan padaku. Aku menghela napas
panjang lalu keluar rumah dan meremas
surat di kantongku, surat titipan dari Radit,
temanku.
Sally sudah berganti baju dan menyalakan
keran air. Aku dan Sally beriringan menuju
tempat aku menaruh pot kembang kertasku
di sudit halaman. Setengah terseok aku
membawa ember plastik hitam berisi air
penuh itu. Beberapa tercecer karena aku
membawanya tidak hati-hati. Mungkin
beberapa diantara tetesan air itu adalah
kenangan tentangmu. Perlahan lenyap ke
dalam bumi.
"Wow! Cantik banget kembang kertasmu,
Arion," kata Sally penuh kekaguman.
"Iya. Sama kayak kamu, Mbak. Cantik
banget," kataku sambil menyiramkan air
sedikit demi sedikit ke atas tanah gembur
dalam pot itu.
Suasana kos sudah mulai ramai. Teman-
teman kosku sudah pulang ternyata.
Sedangkan teman-teman kampusku
sepertinya membatalkan rencana datang
ke sini. Entah alasannya apa.
Aku dan Sally masih mengagumi
kecantikan kembang kertasku. Merah,
putih, dan oranye berebut menebarkan
pesona bagi siapa saja yang
memandangnya. Aku kagum dengan
keberhasilanku.
"Arion... Lihatlah! Ada satu daun yang
layu," katanya tiba-tiba.
"Mana, Mbak?" tanyaku sambil
memperhatikan batang kembang kertas
dengan teliti. Aku pun menemukannya.
Aku tak mencegah saat Sally memetik
daun layu itu. Bukannya dibuang, tetapi
disodorkan padaku.
"Arion... Tolong berikan daun layu ini pada
Mas Ridho sepulangnya dia nanti. Aku
hanya pengin Mas Ridho tahu perasaanku
yang serupa daun ini. Sendiri dan pada
akhirnya akan layu lalu gugur ke bumi.
Kamu mau kan?" katanya penuh harap,
"aku hanya tak ingin rasaku selalu sendiri
sampai kapan pun. Dengan begini
setidaknya aku akan menemukan jawaban
dalam ketabahanku."
Sally kau selalu sendiri
Sampai kapan pun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis
Kulihat matanya sembab menahan tangis.
Aku terdiam menerima sehelai daun layu
itu. Kumasukkan kantong menjadi satu
dengan surat cinta yang sudah tidak
karuan bentuknya. Mendadak aku tiba di
persimpangan. Di sebelah kanan berdiri
sahabatku, Radit, dan di sebelah kiri ada
seseorang yang kuanggap sebagai
ayahku, Mas Ridho. Lalu jalan mana yang
harus kupilih? Kuputuskan untuk bertanya
pada senja. Senja diam saja membiarkan
aku menentukan sendiri jalan terbaik yang
harus kupilih dengan bijak. Kini, bukan
Sally saja yang sendiri, tapi juga aku.
Sendiri dalam bimbang.
***
Karya : @momo_DM
http://bianglalakata.blogspot.com/2012/09/sehelai-daun-layu.html
0 Komentar