#CerpenPeterpan - Di Belakangku
“Tante ini gak punya anak, gak nikah, gak
punya siapa-siapa lagi selain kamu sejak
mamamu meninggal, Del. Tante gak mau pergi
sebelum liat kamu bahagia, Rama itu lelaki
yang baik, tante suka sama dia. Mapan,
dewasa, baik, dan yang paling penting, dia
sayang sama kamu sayang juga sama tante.
Tante mau liat kalian nikah.”
Terbayang percakapan antara aku dan tante
Mirna dua minggu yang lalu, hari di mana ia
merasakan sakit kepala yang hebat sebelum
akhirnya sekarang ketauan, tante Mirna
terkena kanker otak.
Aku menyelimuti tubuh Rama yang terlelap di
samping tante Mirna yang kondisinya kian
melemah. Ini sudah malam kesembilan tante
Mirna dirawat, juga malam kesembilan aku
belum menghubungi Wisnu lagi sejak aku
menyiapkan keperluan tante Mirna untuk di
Rumah Sakit sore itu.
—
“Ibu Mirna kondisinya makin kritis, operasi dan
terapi yang telah dilakukanpun belum
menunjukkan hasil yang diinginkan.” Kakiku
lemas, badanku lemas bagai tak bertulang.
Setelah kedua orang tuaku, kali ini tante Mirna
pun mau pergi meninggalkanku. Rama
memegang tubuhku yang mulai gontai
mendengar ucapan dokter yang baru saja
mengecek keadaan tante Mirna.
—
“Del, kamu gak mau istirahat di rumah gantian
sama adikku jaga di sini?” tanya Rama selagi
kita menyantap makan siang. Menyantap?
Memainkan sendok di atas piring tepatnya,
nafsu makanku menghilang sejak kudengar
ucapan dokter tadi.
“Nggak, aku gak mau ninggalin tante Mirna”
“Gak ada yang nyuruh kamu ninggalin tante,
kamu udah dua minggu bolos kantor loh. Kamu
juga butuh tidur di kasur, gak tidur sambil
duduk atau di sofa kayak sekarang”
“Aku mau resign aja, aku mau rawat tante
Mirna, tabunganku masih cukup untuk tiga
bulan kedepan”
“Resign? Lalu biaya Rumah Sakit”
“Ada asuransi kan”
“Kamu gak boleh kayak gitulah, kamu juga
masih punya kehidupan yang harus dijalani.
Udah bilang ke kantor kan soal tante?”
“Sudah, seharusnya juga mereka gak akan
mempermasalahkan, mereka tau, tante Mirna
sudah layaknya ibu bagiku”
“Oke, kalau itu mau kamu, asal kamu siap
konsekuensi yang akan kamu dapat atas
keputusan kamu. Entah nanti malah kamu
yang drop atau bahkan dipecat.”
“Aku gak peduli.”
—
“Del, mama ikut perihatin lihat keadaan tante
Mirna. Mama mau bicara sama kamu, tapi
mama ada perlu juga di GI, mau urus butik
mama, kamu ikut mama ya sebentar, bareng
sama Nila juga, biar Rama yang jaga tantemu.
Ya Rama? Mama pinjem tunangan kamu dulu
sebentar”
Sepertinya yang mau dibicarakan mama Rama
serius, aku menuruti permintaannya setelah
membaca isyarat dari Rama untuk menuruti
perkataan mamanya.
Selama di perjalanan aku lebih banyak diam,
Nila adik Rama yang seumuran denganku dan
sudah menikah sesekali bercerita untuk
mencairkan suasana.
Sesampainya di mall, mama menyuruhku ke
restoran Cina duluan bersama Nila selagi ia
mengurus keperluan butiknya. Tidak lama
setelah berjalan menuju restoran yang
dimaksud, kakiku seperti terpaku, enggan
menggerakkan langkahnya, Wisnu.
Wisnu? Dengan siapa dia? Wajahnya terlihat
ceria, dia tidak terlihat sedih merindukanku
sedikitpun, dan di sampingnya, perempuan
lain? Siapa perempuan muda dan cantik itu?
Mereka burdua tampak serasi, Wisnu
menggandeng tangan perempuan itu,
menggandeng dengan tangan yang biasa dia
gunakan untuk menggandeng dan memelukku.
Dadaku terasa panas, sakit, amat sakit melihat
pemandangan yang terisi penuh dengan wajah
ceria Wisnu yang sedang menggandeng
perempuan lain.
Mataku panas, air mata mulai terkumpul dan
menunggu perintah hati yang makin pedih
untuk pecah membanjiri pipiku. Aku tidak boleh
membiarkan Wisnu melihat aku menangis, aku
tidak boleh berpapasan dengan mereka. Aku
layangkan langkahku ke arah kanan, berbelok
dengan cepat menjauh dari lelaki yang selama
ini kupikir sedang sedih memikirkanku,
merindukanku. Aku menarik tangan Nila tanpa
berbasa basi, Nila terlihat kaget, tapi rasa
cemburu ini membuatku tidak
menghiraukannya.
Aku meminta Nila untuk masuk ke lift duluan,
membuat alasan untuk menjauh darinya. Nila
dengan wajah yang penuh tanya menurutiku,
aku segera merogoh tasku, kuraih Hpku untuk
menelpon Wisnu.
“Bisa-bisanya kamu..” ucapku saat Wisnu
menjawab panggilanku.
“…bisa-bisanya kamu berduaan dengan
perempuan lain pas aku di sini lagi sedih, tante
Mirna sakit. Kamu tau kan tante Mirna itu satu-
satunya keluarga dekatku sejak kedua orang
tuaku meninggal? Aku pikir kamu beneran
cinta sama aku”
“Sayang, kamu dengerin aku dulu, ini semua
gak seperti apa yang kamu liat, aku cinta sama
kamu, aku Cuma cinta kamu” Wisnu berkilah,
tapi apa? Aku telah melihatnya dengan mata
dan kepalaku sendiri. Pembohong!
“Udah, aku gak percaya lagi sama kamu.
Sana, kamu lanjutin aja hubungan kamu
dengan perempuan itu”
“Sayang.. gak sayang, sayang.. sayang..” Aku
tidak mau memberinya waktu untuk membuat
cerita, membuat cerita untuk menggoyahkanku
lagi. Cerita yang akan membuatku
meninggalkan Rama seperti janjiku.
—
Pikiranku terus melayang ke pemandangan
tadi, Wisnu dan perempuan tadi. Aku
menggoyangkan kepalaku, mengusir semua
yang memenuhi kepalaku. Wisnu, Wisnu,
Wisnu.
“Del..” suara Nila makin membuyarkan
pikiranku.
“Tadi kamu ngomong apa?” tanyaku terkejut.
“Gak, aku gak ngomong apa-apa. Kamu
ngelamun?”
“Iya, aku gak biasa ninggalin tante Mirna,
perasaanku gak enak”
“Hush, jangan mikir gitu ah” Nila mengusap
punggungku. Benar, belakangan ini seperti
ada tumpukan beton 10 kilo hinggap di
punggungku. Berat, berat sekali.
“Maaf, mama lama” Mama Rama datang, Nila
segera memanggil pelayan untuk meminta
menu untuk mama.
“Gak apa, Ma. Sudah beres urusannya?”
tanyaku.
“Yah, masih banyak banget yang harus
diurusin. Nila sih gak mau bantuin mama”
“Ya kan Nila udah punya suami, Ma. Masa Nila
mesti ninggalin suami Nila buat bolak balik
butik mama nanti sih? Nila aja sampe disuru
berhenti kerja biar cepet punya anak dan gak
kecapekan sama mas Dimas” Nila
menjelaskan.
“Nah, Del.. ini yang mau mama omongin, mama
udah gak kuat bolak balik kayak gini
sebenernya, kerjaan di kantor juga banyak,
kegiatan di rumah juga gak kalah bikin
sibuknya, Papanya Rama bisa tambah kesel
kalau mama makin sering ngilang dari rumah
karena butik nih, tapi punya butik itu keinginan
mama dari kecil, bakal mati penasaran mama
kalau sampe gak dijalanin..”
Aku tersenyum mendengar penjelasan mama,
mama Rama ini benar-benar wanita yang
sibuk, mengurus perusahaan keluarga,
organisai ibu-ibu istri pejabat, ditambah lagi
sekarang mau buka butik, pasti beliau
kecapekan sekali.
‘..mama pengen butik ini kamu yang urus, Del..
Mama mau kasih butik ini buat hadiah
pernikahanmu sama Rama, biar mama nanti
masih bisa sering main ke butik, ngasih
masukan buat barang-barang yang dijual,
kamu juga gak usah lagi kerja kantoran. Biar
itu jadi urusan Rama”
“Hah? Maksud mama?” aku lumayan kaget
dengar kata-katanya.
“Iya, mama pernah ngobrol sama tantemu, dia
pesan sama mama buat jagain kamu nantinya,
sejak dia mulai merasakan sakit kepala yang
mama besuk di rumah waktu itu. Yah, mama
mana bisa jagain kamu, mama juga udah tua,
tapi mama janji buat nikahin kamu dan Rama..”
“…mama tau kondisi tantemu makin tidak
stabil, mama gak mau punya hutang juga,
hutang janji. Mama mau kamu dan Rama
segera menikah”
Apa? Menikah? Sungguh, aku ingin menikah,
tapi apa dengan Rama? Tuhan tau betul di
hatiku hanya ada Wisnu. Aku pun berjanji
akan menunggunya. Selama ini aku bertahan
dengan Rama, karena tante Mirna begitu
menyukainya. Karena Rama pun sangat
menyanyangi tante Mirna, layak ibunya sendiri.
“Kalian pacaran sudah empat tahun loh,
kurang apa lagi sih? Keluarga juga sudah
saling mengenal dan setuju. Ditambah mama
sudah janji sama tantemu yang adalah sahabat
mama sedari SMA untuk menikahkan kalian”
“Iya, sih mbak Del.. nunggu apalagi, nikah itu
enak. Tiap hari kita bisa bangun tidur di
samping orang yang kita cinta” sambar Nila
yang tahun lalu baru saja menikah dengan
kekasih yang telah ia pacari sejak enam tahun
lalu.
Bangun di samping orang yang paling
kucintai? Jika itu adalah setahun lalu, mungkin
iya. Semuanya berubah sejak aku mengetahui
Rama selingkuh dengna teman kantornya.
Masalah ini memang Cuma aku yang tau, aku
dan Wisnu yang saat itu menjadi tempatku
bercerita. Seharusnyapun aku menikah
dengan Rama setahun lalu, tapi semuanya
kubatalkan karena pengkhianatannya Di
situlah aku bertemu Wisnu, Wisnu yang
meredakan amarahku, membuatku kembali
percaya diri, aku sungguh merasa terpukul dan
buruk saat mengetahui orang yang aku
harapkan menjadi masa depanku berkhianat,
tapi sekarang? Setelahnya malah aku yang
menjadi rama, aku berkhianat dan jatuh cinta
lagi dengan orang baru yang membuatku
tertawa di saat hatiku dibuat hancur Rama.
Rama menyesal telah berkhianat, dia meminta
maaf dan memintaku memberinya kesempatan,
dia meluluhkan hatiku kembali melalui tante
Mirna, dan segala janji manis baru yang ia
utarakan. Bodohnya, aku meng-iyakan, meski
sesungguhnya saat itu hatiku telah jatuh ke
tangan Wisnu.
“Del, Adel..” Mama membuyarkan lamunanku
ke masa di mana anak kesayangannya
mengkhianatiku, ke masa yang membuatku
seperti ini, menjadi sosok Rama setahun lalu.
“..Mama mau kamu menikah dengan Rama
secepatnya, kalau bisa bulan depan, ya bulan
depan aja. Mama mau bikin tantemu
tersenyum melihat kalian nikah. Ini bukan
tawaran, ini permintaan mama, permintaan
tantemu, orang yang telah merawatmu sedari
kecil”
“Tante Mirna, iya, tante Mirna sangat
menyanyagi Rama. Karena Rama anak mama,
anak sahabatnya” aku tidak tau lagi harus
berkata apa, terlebih lagi setelah apa yang aku
lihat. Wisnu dengan perempuan lain.
—
“Mama tadi bicara apa sama kamu?” tanya
Rama selagi aku meletakkan tas saat kembali
ke kamar Tante Mirna.
“Mama nyuru kita nikah” jawabku singkat.
“Iya, tante mau melihat kalian menikah.
Sebelum terlambat” tante Mirna tetiba
mengeluarkan suara, setelah seminggu ini dia
hanya tertidur koma dan sesekali membuka
mata.
“Tante..”ucapku mendekat.
“..Rama, tolong kamu panggil dokter. Tante
siuman” ucapku ke Rama dengan nada
gembira.
“Tante mau kalian menikah, tante mau lihat
kalian menikah. Rama pria yang tepat buat
kamu, Del..”
“Tante, tante jangan ngomong macem-macem
dulu, tante masih lemes, tante aku seneng
banget liat tante sadar.. Tante janji harus
sembuh” ucapku tak kuasa menahan senang.
“Iya, tante pengen kamu janji, kamu akan
segera menikah, apalagi jika umur tante tidak
panjang, tante mau lihat kamu ada yang jaga.
Kamu dijaga Rama. Kamu janji ya sama tante?”
“Iya, tante aku janji, tapi sekarang tante jangan
banyak gerak dulu, sebentar lagi dokter
dateng meriksa tante. Tante harus sembuh
dulu”
Damn. Aku meng-iyakan mau tante Mirna
tanpa berpikir jauh, dan di belakangku ada
Rama, Rama mendengar semuanya
sekembalinya dia memanggil dokter.
—
“Kondisi tante anda masih sangat kritis, kami
akan memindahkann ya ke ruang ICU agar
lebih terkontrol, entah keajaiban apa yang tadi
membuatnya tadi tersadar, lalu kemudian drop
lagi, bahkan memburuk” ucap dokter setelah
mengecek tante Mirna.
Kami menuruti perkataan dokter untuk
memindahkan tante Mirna ke ICU, Tuhan.. aku
mohon sembuhkan tante Mirna. Aku masih
banyak hutang ke beliau, aku masih ingin
berbakti padanya.
—
“Kamu serius Del mau menikah denganku?”
tanya Rama selagi kita melihat tante Mirna dari
balik kaca besar yang tidak lagi membuatku
bisa menyentuhnya.
Apa aku benar ingin menikah dengan Rama?
Aku sendiripun tidak tau harus menjawab apa,
tapi aku sudah berjanji di hadapan tante Mirna.
Aku menghembuskan nafas panjang sambil
terus menatap tante Mirna yang terlihat seperti
sedang tidur nyenyak. Aku menggangkuk
kepada Rama. Seketika hatiku patah dengan
anggukkanku sendiri.
Wisnu.. ucapku di dalam hati. Rama terlihat
senang dnegan anggukkanku. Dia memelukku,
dan aku terus menyebut nama Wisnu di dalam
hatiku.
—
Tante Mirna menutup mata untuk selamanya
tiga hari setelah dipindahkkan ke ruang ICU.
Mama Rama makin semangat mempersiapkan
pernikahanku dengan Rama. Aku tiap malam
terus menangis sendiri di dalam kamar tante
Mirna. Aku ingin sekali menghubungi Wisnu,
tapi tidak, aku tidak bisa menghancurkan
hatinya, sekaligus menghancurkan lagi hatiku
saat harus mengatakan semuanya.
—
Tanggal pernikahanku makin dekat, aku harus
memberitahu Wisnu. Aku tak ingin dia tau dari
orang lain. Setidaknya aku harus memberi
kabar bahwa tante Mirna sudah meninggal.
Aku mengirimkan pesan singkat padanya,
sekedar ingin tau bagaimana reaksinya jika
kuberitahu satu-satunya keluarga yang kumiliki
telah pergi.
“Tante Mirna meninggal sebulan lalu”
Tidak ada balasan, entah apa yang ada di
pikran Wisnu saat ini, entah kenapa dia tidak
membalas pesanku, atau mungkin aku sudah
tidak ada di pikirannya? Atau bahkan hatinya?
Terganti oleh sosok perempuan yang waktu itu
kulihat bersamanya?
—
Belakangan ini Rama sering menginap di
rumahku, dia tidak mau membiarkanku
sendirian. Mungkin nanti malampun. Ah,
badanku kotor sekali, padahal belakangan ini
aku jarang keluar kecuali untuk mengurus
pernikahan kami. Sepertinya aku harus
menuruti perkataan mama untuk mempercantik
diriku di hari yang hanya seumur hidup sekali
kujalani.
Aku melangkahkan kaki ke kamar mandi,
melakukkan perawatan tubuh dengan sepaket
lulur pernikahan yang sejak minggu lalu mama
menyuruh untuk dilakukan di salon, namun tak
jua kulakukan, hingga akhirnya beliau
menyuruhku melakukkannya di rumah. Sendiri.
Menikah, Rama, Wisnu, tante Mirna, aku. Apa
yang sebenarnya rencana Tuhan untuk diriku
kali ini, setelah merenggut kedua orang tuaku,
tante yang merawatku sedari kecil, sekarang
aku dibuat harus merenggut kebahagiaanku
sendiri dengan memilih untuk tidak memilih
orang yang kucintai.
—
“Siapa Wisnu? Kenapa banyak sekali sms dari
dia dengan kata-kata mesra? Kenapa banyak
sekali foto kalian yang kamu sembunyikan di
folder yang tertumpuk di Hpmu?” Rama. Dia
memegang Hpku, raut wajahnya di penuhi
emosi, dia menggenggam Hpku dengan
kencang, terlihat dari urat-urat pada
tangannya yang mengencang. Dia membaca
semuanya kah? Semua percakapanku dan
Wisnu? Bodohnya aku tidak jua menghapus
semua percakapan kami dan foto-foto karena
sebelumnya Rama selama tiga tahun bersama
dia tidak pernah berani menyentuh Hpku, kami
menyepakati HP adalah barang yang paling
privasi bagi tiap orang. Aku masih terdiam
mendengar pertanyaannya.
“JAWAB, DEL! Siapa Wisnu?” tanyanya lagi,
kali ini dengan nada sangat tinggi, belum
pernah aku melihatnya semarah ini.
“Kalau kamu gak mau jawab biar aku yang
menepon lelaki itu” Rama menekan nama
Wisnu, Rama menelpon Wisnu. Aku segera
merebut Hpku di tangannya, aku berdoa agar
Wisnu tidak menjawab panggilan atas namaku
di layar Hpnya.
“Jangan, jangan ganggu dia. Jangan, jangan
libatkan dia” aku mencoba merebut Hpku,
namun tidak bisa, genggaman tangan Rama
begitu kuat, Rama begitu tinggi, aku seperti
bergelayut di tangannya, Rama terus
menelpon Wisnu, tidak biasanya Wisnu
menjawab telepon dariku dengan lama. Tuhan,
jangan.. jangan biarkan kedua lelaki ini
bertemu suara.
Rama mendorongku, aku terjatuh dan
menangis.
“Kamu mau aku langsung samperin lelaki itu
berada apa memberikan penjelasan padaku?
Minggu depan kita sudah menjadi suami istri,
Del..”
“Justru itu, minggu depan kita sudah menjadi
suami istri. Kamu sudah mendapatkan apa
yang kamu mau kan? Tolong, jangan libatkan
dia lagi. Aku akan menjawab apapun yang
kamu tanya, jangan tanya orang lain, tanya
aku. Aku akan jawab semuanya.” Aku melihat
Rama menurunkan tangannya. Dia menekan
tombol merah pada Hpku yang di tangannya.
Sepertinya Wisnu tidak sempat menjawab
telepon.
“Kamu yang buat aku begini, Ram. Kamu ingat
pengkhianatanmu pada kita? Dua kali kamu
berselingkuh! Tadinya aku sudah tidak mau
melanjutkan hubungan denganmu sejak
bertemu dengan Wisnu, tapi karena tante
Mirna terlalu menyanyangimu, aku meng-
iyakan untuk terus denganmu.” Jelasku.
“Maksudmu? Kamu sudah berselingkuh sejak
setahun lalu dengan lelaki bernama Wisnu itu?
Dan masih berlanjut sampai detik-detik menuju
pernikahan kita?”
“Pernikahan kita, lebih tepat jika disebut
dengan pernikahan mamamu dan tanteku,
pernikahan karena janji kedua sahabat yang
membesarkan kita” aku menjawabnya lirih.
“Kamu tidak mencintai aku, Del?”
“Apa masih guna pertanyaan itu? Toh, minggu
depan kita tetap menikah. Atau kamu mau
membatalkan setelah tau tentang aku dan
Wisnu?”
“Kamu masih berhubungan dengannya?”
“Tidak, setelah memutuskan untuk menikah
denganmu, aku tidak tau lagi bagaimana
keadaannya sekarang”
“Kamu mencintainya?”
Apa masih guna siapa yang aku cintai? Aku
ulangi, minggu depan kita menikah”
“Aku tidak mau menikahimu jika di hatimu
berisi lelaki lain. Aku akan membatalkan
pernikahan kita” ucap Rama yang membuatku
takut.
“Tidak, jangan.. aku mohon jangan” aku
memegang kaki Rama dari tempatku terjatuh
tadi, aku mohon tetap nikahi aku. Izinkan aku
berbakti kepada tante Mirna, izinkan aku
memenuhi pintanya untuk terakhir kali, aku
mohon..” aku memohon pada Rama yang
sepertinya dibuat kesal dan marah atas
ucapanku tentang siapa yang ada di hatiku.
“..Aku mohon, Rama. Maafkan aku seperti aku
memaafkanmu setahun lalu” lanjutku. Rama
masih terdiam, raut wajahnya seperti setan
yang memerah karena diledek manusia.
“Udah ngapain aja kamu sama dia?”
pertanyaan Rama yang bagiku seperti tingkah
anak SMU yang baru saja mendapati
kekasihnya berciuman di belakang sekolah.
“Aku gak ngapa-ngapain sama dia, Rama..
aku milih kamu, aku ninggalin dia, sekarang
aku ada di sini, di bawah kakimu, memohon
dengan sangat untuk tetap dinikahi” aku
memeluk kaki Rama, angkuhku runtuh karena
sangat takut ia tinggali, aku takut Rama
membatalkan pernikahan kami, aku takut tidak
bisa memenuhi pinta tante Mirna untuk yang
terakhir kalinya.
“Aku cinta sama kamu, Del.. Kamu tau benar,
aku sungguh menyesali perbuatanku setahun
lalu. Aku pikir kamu benar-benar telah
memaafkanku, tapi kenapa sekarang seperti
ini? Aku sungguh ingin menghabiskan masa
tua bersama mu, aku ingin memiliki hatimu
seutuhnya, bukan sekedar ragamu, aku mau
jiwa kita menyatu seperti dulu, sebelum
kebodohanku menghancurkannya setahun
lalu..”
“Maaf.. maafkan aku Rama.. Tolong, aku
mohon, jangan batalkan pernikahan kita. Aku
berjanji tidak akan menghubungi Wisnu atau
lelaki manapun. Tolong, jangan rusak impian
tante Mirna, dia ingin melihat kita bahagia
bersama. Aku mohon..” aku mengiba padanya,
semoga dia masih mau menerimaku. Sungguh,
aku akan meninggalkan dan menanggalkan
Wisnu dari hati dan hidupku setelah ini. Janjiku
di dalam hati.
“Lakukan satu pintaku, tinggalkan dia untuk
selamanya jika memang benar kamu ingin
melanjutkan rencana pernikahan kita minggu
depan..”
“Iya, aku akan meninggalkan dia, tidak, aku
memang telah meninggalkan dia”
“Tidak, kamu tidak meninggalkan dia, kamu
menghilang darinya bukan? Menyisakan
harapan menggantung dengan tidak
mengabari keputusanmu untuk meninggalkan
dia..”
Benar, aku belum meninggalkan Wisnu
sepenuhnya, aku masih menyisakan harapan
untuk terus menungguku.
“..Hubungi dia sekarang, ajak ketemu, katakan
kamu akan menikah dan memilihku. Katakan
kamu ingin lepas darinya dan minta dia untuk
tidak mengganggumu lagi. Sekarang”
Aku tersentak dengan pinta Rama, aku belum
siap meninggalkan Wisnu, tidak mungkin aku
bisa pura-pura tegar di hadapan Wisnu saat
mengatakan semuanya, aku mana punya
keberanian sebanyak itu..
“Tidak, jangan sekarang, ijinkan aku menyusun
kata-kata yang tepat agar tidak terlalu
menyakitnya”
“Sekarang, sekarang atau aku batalkan
pernikahan kita. Sekarang kamu harus pilih,
dia atau pernikahan kita” hatiku berkecambuk,
kacau bukan main, apa yang harus aku
katakan pada Wisnu?
“Sekarang..” Rama memberikan Hpku yang
sedari tadi di tangannya.
Aku memjamkan mata, menggambil Hpku,
tanganku gemetar, ada ada lambang pesan
masuk di sana, aku yakin itu dari Wisnu yang
mendapati nomerku menghubunginya sedari
tadi.
“SEKARANG, DEL!” Rama membantakku,
seketika aku membuka pesan yang masuk
yang sedari tadi aku lihat lambangnya. Betul
saja, Wisnu.
“Ada apa?” isi pesan dari Wisnu.
“Aku telepon kamu ya” Jawabku singkat dan
segera menelponnya tanpa menunggu balasan
darinya.
“Adel.. kamu apa kabar? Kemana aja?” Ya,
Tuhan.. suara ini, suara yang sangat aku
rindukan, pemilik hatiku.
“Aku baik-baik aja, kamu apa kabar?” tanyaku
sambil melihat raut wajah Rama yang sangat
tidak suka melihatku basa basi dengan Wisnu.
“Ajak dia ketemu sekarang, aku mau kamu
mengatakannya langsung dengannya” aku
spontan menutup lobang penghantar suaraku
saat Rama menggerakkan bibir selagi Wisnu di
ujung sana tersambung denganku. Aku
menggangguk.
“Minggu depan aku sidang skripsi” suara
Wisnu terlihat gembira menyampaikan kabar
yang selama ini aku tunggu, janjiku, penantian
kita, janji untuk menanti untuk bisa bersama.
Aku memejamkan mataku, air mata keluar dari
sudut panca indraku.
“Bagus dong, aku senang dengernya. Aku
mau ketemu, hari ini jam 5 sore di tempat biasa
bisa?” aku berusaha mengatur nada bicaraku
agar tak terbaca olehnya kegundahanku di
sini.
“Bisa.” Jawabnya singkat. Aku sungguh ingin
bertemu dengannya, tapi.. bukan dengan cara
seperti ini
—
Rama mengantarku ke tempat biasa aku
bertemu dengan Wisnu, dia mau ikut bertemu
dengan Wisnu, tapi aku lagi-lagi memohon
padanya untuk menungguku di mobil dan
membiarkan aku menyelesaikan semuanya
sendiri. Rama memberiku waktu 15 menit, 15
menit waktu maksimal aku bisa menemui
Wisnu untuk mengakhiri semuanya,
mematahkan hatiku dan hatinya dengan
sengaja.
Wisnu jangan sampai tau, Wisnu tidak boleh
tau apa yang sebenarnya terjadi. Wisnu harus
bisa membenciku, agar dia bisa melupakanku.
—
Ya Tuhan, Wisnu. Lelaki yang sangat aku
cintai. Dia ada di depanku sekarang, aku
sungguh ingin memeluknya, mengatakan
betapa aku mencintainya. Tidak, aku tidak
boleh seperti ini, 15 menit, atau pernikahanku
akan hancur.
“Hey..” Aku menyapanya.
“Adel..” Wisnu memelukku. Tuhan, aku
sungguh mencintai lelaki ini, tolong.. hentikan
waktu sejenak.
Wajah Rama seketika muncul di pikiranku, aku
spontan melepas pelukan yang sangat
membuatku nyaman. Di kafe ini, kafe yang
menjadi saksi hubungan diam-diam kami,
tempat kami lari dari segala kepenatan yang
ada. Lari dari dunia yang tidak bisa menerima
aku dan Wisnu bersatu. Tidak, bukan dari
duni, tapi dari Rama, dari calon suamiku. Dan
semuanya tersembunyi atas mauku.
“Kamu pucet, Del.. sehat?” Wisnu tau benar
tentangku, dia bisa mengetahui keadaanku
bahkan dengan hanya mendengar suaraku.
“Aku baik-baik aja, kamu gimana? Minggu
depan udah sidang skripsi?” skripsi.. kata itu
lagi-lagi membuatku terpukul, janji kami. Rusak
sudah semuanya. Rusak karena aku,
keegoisanku.
“Iya, Del.. nama kamu aku pinjem ya, buat
ditaro di lembar ucapan terima kasih, kamu
yang selama ini nyemangatin aku. Kalau bukan
karena kamu, mungkin aku bakal makin males
ngerjain skripsi. Hehehe..” Aku tersenyum
mendengar kata-katanya, aku sungguh
bahagia, ternyata Wisnu benar-benar
memenuhi janjinya, tapi aku tidak bisa.
“Minggu depan aku nikah.” Ucapku singkat
dan membuat ngilu hatiku yang berisi hanya
Wisnu seorang.
“Nikah? Tapi kenapa buru-buru? Kenapa gak
nunggu aku? Kamu janji bakal nunggu aku
lulus, nemenin aku kerja dan ngumpulin uang
buat kita?”
“Gak bisa, sejak tante Mirna meninggal,
keluarga besarku makin mendesakku menikah.
Kalau aku nunggu kamu, berapa tahun lagi
aku harus nikah? Ngumpulin uang gak
segampang itu, Nu” alasan ini sudah aku
pikirkan sedari tadi aku di dalam perjalanan.
Maaf, maafkan aku, Nu. Ucapku di dalam hati
melihat raut wajahnya yang langsung berubah
lemas dan marah.
“Tapi papa mamaku bisa menghidupi kita,
kamu bersabarlah sebentar, sayang..”
“Umur aku berapa, Nu? Tahun depan aku 30
tahun, sedang kamu baru beberapa bulan
bekerja, bisa kamu nikahin aku tepat waktu?
Bisa kamu menuhin impian aku untuk menikah
sebelum usiaku 30 tahun?”
“Tapi kamu udah janji, janji bakal nungguin
aku. Sekarang tinggal sebentar lagi, sebentar
lagi aku lulus, aku akan kerja dan ngelamar
kamu”
“Gak perlu, aku gak mau negerusak masa
muda kamu dengan nikah muda, aku tau lelaki
seumuran kamu memang sedang ingin-
inginnya menikah, tapi coba nanti saat kamu
sadar kamu masih muda dan terlalu dini
menikah, sedang aku di sampingmu makin tua.
Aku gak bisa nunggu kamu.”
“Kamu gak bisa kayak gini, Del.. bagaimana
dengan mimpi kita? Bagaimana dengan janjimu
untuk ninggalin tunangan kamu pas aku lulus?
Sekarang semuanya udah di depan mata,
De..”
“Maaf.. Maaf.. aku gak bisa. Maaf” Aku berdiri,
aku harus pergi, sudah hampir 15 menit, aku
tidak ingin membuat Rama marah dan merusak
mimpi tante Mirna.
Aku tidak berani melihat wajah Wisnu terlalu
lama, aku takut kedua lenganku tertarik
magnet rindu untuk memeluknya untuk terakhir
kali.
“Maafkan aku, Wisnu.. Maaf..” ucapku terus
berulang selama di perjalanan penuh diamku
bersama Rama dari kafe tempat kenanganku
dan Wisnu tercipta.
—
Hari ini hari pernikahanku, semua orang
tersenyum. Mama dan Papa Rama terlihat
bahagia, mungkin bagi mereka aku adalah
calon menantu yang baik, aku tertawa di dalam
hati, membayangkan apa yang akan terjadi jika
mereka tau perbuatanku setahun ini,
berkhianat dari anak mereka.
—
Rama dan aku duduk di hadapan penghulu,
aku menatapnya, dia terlihat tampan, tapi aku
tau benar di hatinya masih kacau. Aku
sungguh jahat, melukai dua orang yang ada
dan pernah di hatiku.
Rama menatapku, mencium keningku setelah
melakukan ijab kabul, berbisik “Sayang, aku
janji akan membuatmu bahagia. Tersenyumlah
kita berhasil membuat tante Mirna tersenyum
sekarang. Aku akan membuatmu bahagia, aku
berjanji sayang” ucapnya lirih.
Aku menatapnya, kemudian dia memelukku,
erat, sangat erat. Hampir sesak aku dibuatnya.
Tubuhku serasa mati, aku tidak membalas
peluknya, apa yang sedang aku lakukan?
tanyaku di dalam hati.
“ Kau peluk aku, sebelum membunuhku.
Tersenyum melihatku, merenung melihatmu.
Kau menungguku, menunggu ku terjatuh.
setiap langkah tertuju, setia dalam menunggu.
Aku menunggumu.. menunggumu..
menunggumu mati di depanku, di depanku di
depanku..”
Tangisku pecah di dalam peluk Rama, tunai
sudah hutangku. Lunas.
Samar aku melihat tante Mirna menghadiri
pernikahanku, aku tersenyu melihat
senyumnya. Tante, aku menikah dengan lelaki
yang tante percayakan untuk menjagaku, tante
bisa istirahat dengan tenang sekarang, aku
baik-baik saja di sini, ada Rama. Ucapku di
dalam hati, namun.. tidak, bukan tante Mirna
yang sedari tadi aku beri senyum. Lelaki tegap,
tampan, berjas itu.. Wisnu.. Wisnu ada di
depan rumahku, tidak.. ini tidak boleh terjadi,
tidak.
Jangan, Wisnu.. jangan.. aku mohon. Pergilah,
selamatkan hatimu. Aku mohon, Jangan. Aku
menggeleng pelan, air mataku mulai memenuhi
penglihatanku, sosok yang sedari tadi kulihat
dan beri senyum bukan tante Mirna, tapi lelaki
yang sampai saat ini ada di hatiku.
“Jangan Wisnu, aku mohon” aku mengucapkan
lirih di dalam hati hingga bibirku bergerak
tanpa suara.
“Jangan..” tetiba Bagas, satu-satunya teman
Wisnu yang mengetahui tentang kami menarik
Wisnu dari pandanganku.
“..Aku gak pantes buat kamu” lanjutku di dalam
hati mengiringi menghilangnya sosok Wisnu
dari hadapanku.
—end—
0 Komentar