Hari Yang Cerah?
Tidak ada sinar matahari yang menghangatkan
pagi Satya melalui jendela kamar kost hari ini,
sama seperti hari-hari kemarin. Berhari-hari
lamanya gorden tebal dibiarkan tertutup,
menjadi pemisah nyata antara Satya dan dunia
luar. Menjadi pemisah nyata antara Satya dan
matahari.
Satya terbangun, jam menunjukkan pukul dua
belas, seperti biasa. Satya bergerak pelan,
menggosok mata kanannya dan berdiri dengan
hati-hati, linglung. Baju dan kaos kaki
berserakan di lantai kamar, bercampur dengan
tumpukan sampah mi instan dalam kemasan
styrofoam, botol minuman soda, kantong
kertas yang dulu isinya burger lima ribuan,
belasan kaleng dan tabung cat yang sebagian
tutupnya terbuka sehingga catnya mengering,
kuas bermacam ukuran, dan satu dua batang
rokok. Begitu kesadarannya datang, Satya
segera meraih satu batang rokok yang terletak
di dekat kaki kasurnya. Satya merogoh saku
celananya, mencari korek, tapi yang tersisa
hanya kotaknya saja. Tidak ada yang bisa
dilakukan selain melempar rokok sebatang itu
ke arah pintu kamar mandi, menendang kasur,
dan kembali berbaring menatap langit-langit.
Dua puluh menit bergerak-gerak di kasur
mencari posisi badan yang enak untuk tidur,
Satya menyerah. Dia duduk, melihat kosong ke
arah tembok lembab dihadapannya beberapa
saat, lalu menyalakan radio di sebelah
kasurnya. Mendengar lagu dan bukan suara
penyiar, Satya kembali berbaring mencoba
tidur.
Pagi biar ku sendiri
Jangan kau mendekat
Wahai matahari
Satya tidak tahu ini lagu apa, tapi dia
mengenali suara khas Ariel, vokalis Peterpan.
Tapi bukan itu yang penting bagi Satya saat
ini. Yang penting adalah fakta bahwa tiga
baris pertama lagu ini menggambarkan
suasana hatinya beberapa hari kebelakang.
Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi
Begitu terang untuk cinta yang mati
Hah, lagu bodoh, pikir Satya. Jiwa yang sepi,
cinta yang mati, mana bisa masih sadar akan
adanya hari yang cerah diluar sana?
*
“Satya, aku ingin putus,” mata Indah tidak
menatap langsung Satya, tapi menunduk ke
arah mangkok kosong yang sepuluh menit
sebelumnya berisi mie ayam favoritnya.
“Kenapa?” Satya kaget setengah mati
mendengar suaranya sendiri. Terlalu tenang.
“Aku bertemu orang lain, Sat. Seseorang
dengan pekerjaan yang stabil, bukan seorang
pelukis yang masih menunggu kesempatan
masuk galeri. Dia seseorang yang bisa aku
andalkan,” sekarang Indah mulai berani melirik
Satya, sedikit sekali.
“ … ”
“Katakan sesuatu Satya..”
“Apa yang ingin kau dengar Indah? Kau ingin
aku marah-marah? Kau ingin aku
mengingatkanmu tentang segala janji kita? Kau
ingin aku memohon agar kita tetap bersama
atas nama sumpah-sumpah cinta kita?” Satya
terdiam sepuluh detik. Sepuluh detik terlama
dalam beberapa tahun terakhir, sepertinya.
“Aku cinta kamu, kamu tau itu. Aku berjanji
untuk tidak meninggalkanmu dalam keadaan
sulit, kau pun begitu. Tapi lihat sekarang. Aku
tidak tau mau bilang apa, Indah..”
Satya menghela nafas panjang dan berdiri
pelan, meninggalkan Indah yang menunduk,
menahan tangis. Satya tidak peduli. Dia yang
mencintai Indah, dia yang selama ini berusaha
mempertahankan, dia yang menghabiskan
tahunan hidupnya mendahulukan kebahagiaan
Indah daripada kebahagiannya sendiri.
Kenapa Indah yang menangis? Bukankah
harusnya Satya yang meraung dalam kamar, di
bawah selimut, sementara hujan mengalir
deras di luar ruangan dan lagu sedih diputar
kencang?
Itulah yang Satya lakukan begitu sampai kamar
kost.
*
Kucoba bertahan dan tak bisa
Mencoba melawan ku lepas
Semua telah hilang
Hah. Satya tertawa kecil. Lagu ini ada
benarnya juga, semua telah hilang.
Satya mencoba tidur lagi, tidak akan ada hari
yang cukup cerah untuk dia berusaha keluar
dan kembali melihat matahari.
http://lo-ra.tumblr.com/post/28181554826
0 Komentar