Recents in Beach

Cerpen Peterpan " Semua Tentang Kita "

#CerpenPeterpan - (adakah sedikit) Tentang
Kita?

“Delete Ariyo Dewa?”
Aku harus move on, kalau dia terus muncul di
sini, aku tidak bisa, hatiku masih terlalu sakit
tiap kali melihat namanya. Aku pun menekan
tombol “Yes” sambil memejamkan mata.
Tiga tahun, semuanya hancur dalam satu
malam, satu malam penuh pengkhianatan.

“Rin! Ririiiiiin…” suara seorang lelaki
memanggilku dari kejauhan, aku tidak
mengenakan softlens maupun kacamataku,
tinggi.. familar, hmmm..
“Bagas” aku tersenyum saat ia mendekat dan
makin jelas tertangkap mata rabunku.
“Rin, temenin gue makan roti bakar yuk. Laper
banget nih..”
“Kapan? Sekarang?”
“Iyalah.. yuk yuk yuk”
“Gue balik dulu ya, ganti baju sama pake
softlens. Gak maukan gue jalan nabrak-
nabrak?”
“Iyee, buru.. dari mana sih lo?”
“Mini market, beli minyak goreng. Biasa disuru
ibu”

“Rin, masih sedih?” tanya Bagas membuyarkan
lamunanku selagi memakan roti bakar keju di
depanku.
“Eh?” jawabku singkat.
“Udah sih, masih aja pura-pura tegar depan
gue. Kita kan tetanggaan dan temenan udah
lama Rin. Ario gimana?”
Aku menjawab pertanyaan Bagas dengan
sebuah senyum malas.
“Yah, gini deh.. Hehe.. tiga tahun. Boleh lah
ya, kalau kali ini gue sedihnya lamaan dikit?”
jawabku dengan diakhiri senyum lebar kali ini.
“Puk puk” Bagas mengelus pundakku dengan
memberikan senyum iba.
“Tapi, Rin.. Ini udah bulan ketiga sejak lo dan
Ario putus kan? Gak mau nyoba sama yang
lain? Cowok banyak Riiiin..”
“Hehehe”
“Mau gue kenalin sama temen gue? Hmmm..
tapi siapa ya, bentar”
“Gak perlu, Gas. Gue mau nikmatin masa
jomblo dulu, udah lama kan gue gak jomblo”
“Rin, sedih amat dah muka lo. Ampe kapan
kayak gitu? Muka lo jadi kucel. Mana Ririnku
yang duyuuuuu, yang uwuwuwuwuuwuuu?”
Bagas menarik kedua pipiku, membentuk
senyum yang sudah lama sekali aku tidak lagi
melihatnya tiap kali aku berdiri di depan
cermin.

“Rin, besok temenin ibu kondangan ya. Ajak
Ario sekalian.” Suara ibu dari luar kamarku
selagi aku mengganti pakaian.
“Udah putus, buuuu. Ajak yang lain aja
boleh?”
“Hah?”
“Iya, Ririn udah putus sama Ario. Ibu Ririn
temenin kondangan sendiri aja ya?” aku keluar
kamar dan menghampiri ibu yang sedang
duduk di ruang keluarga.
“Kamu kenapa putus sama Ario, nduk?”
“Cinta kami kurang kuat” jawabku sambil
tersenyum.
“Oalah, bukannya tahun depan kalian
rencananya udah mau nikah ya? Ibu sedih
dengernya”
Aku menjawab pertanyaan ibu dengan
senyum kecil.
“Ririn tidur ya, bu..”
“Lho, kamu belum cerita ih kenapa bisa
putus?”
“Besok aja lah, lagi males.. ngantuk banget”
Aku berjalan menuju kamarku kembali. Ah,
kenapa ibu harus menyebut nama itu lagi sih.
Ario.. Ario..

“Gas, gue mau deh lo kenalin ke temen lo” aku
menuliskan pesan melalui BBM ke Bagas.
“Woh, pas banget nih. Gue lagi sama Wisnu,
temen kampus gue yang waktu itu lo bilang
cakep pas gue pasang DP BB sama dia. Gue
kenalin sama dia aja apa? Lagi jomblo juga nih
dia”
“Hmmm.. kalau menurut baik buat gue, boleh
lah”
“Sip, gue suru dia add Pin BB lo yak”
“Iya”

“Wisnu Putera want to be your friend” notifikasi
muncul di layar Bbku.
“Accept”

“Haloooo..”
Wisnu.
“Holaaa..” jawabku.
“Hmmm, gak apa kan aku add Pin kamu?
Dapet dari Bagas nih”
“Gak apa : )”
“Lagi apa, Rin?”
“Tidur-tiduran aja”
“Kamu udah kerja ya? Kerja di mana?”
…dan obrolan kami berlanjut hingga jam 12
malam lewat. Wisnu, asik juga anaknya.
Ganteng pun. Aku tersenyum membaca ulang
percakapanku dengannya.

“Rin, gimana Wisnu?” tanya Bagas saat aku
melewati parag rumahnya untuk berangkat
kerja.
“Heh, teriak-teriak. Masih pagi”
“Ciyeee senyam –senyum sendiri. Wisnu..
Wisnu.. Wisnu.. Wisnu.. Ririn senyum lagi”
ledek Bagas.
“Gue berangkat kerja dulu ah, nanti aja pulang
kerja” jawabku sambil berjalan menjauh dari
Bagas.
“Ririn lope lope sama Wisnu ciyeee”
“Gas! Resee”

“Haloooo”
“Ya” rupanya begini cara menyapa Wisnu tiap
mengawali percakapan. Aku tersenyum
melihat BBM yang dia kirim di jam istirahat.
“Jangan lupa makan, Nona : )”
“Iya, terima kasih. Jangan lupa makan juga,
Tuan : )”
“Sibuk ya?”
“Luamayan, Cuma ini udah istirahat, jadi udah
gak sibuk”
“Oooo.. “
“ : ) “
“ : )”
“Udah gak ada bahan ngobrol ya? Cuma
ngirim emot senyum : )”
“Ah, nggak, kan katanya kamu lagi mau
istirahat. Istirahat dululah, kan daritadi udah
kerja capek”
“Ngobrol kayak gini juga salah satu bentuk
istirahat sih”
“Hehehe”
“Lagi apa?”
“Di bengkel nih, biasa”
“Oh”
“Ih”
“Cubit nih”
“Hmm?”
“Iya, kamu nih dari semalem gemesin ya”
“Seharusnya aku bilang ‘terima kasih’ ya kalau
dibilang gemesin? Terima kasih : )”
“Hahaha, makan gih. Nanti biar kuat lagi
nyelesain kerjaan. Semangat yes”
“Iyes”
Obrolan kami berlanjut hingga jam makan
siang berakhir.
Wisnu anaknya asik juga, yah.. setidaknya dia
bisa bikin aku senyum lagi belakangan ini.

Sudah seminggu aku terus mengobrol dengan
Wisnu, dari bangun tidur sampai mau tidur, tapi
belum pernah teleponan sih. Aku nunggu dia
nanya nomer teleponku duluan. Sapa ah~
Loh? Kok Wisnu gak ada di list BBMku? Coba
aku cari satu persatu, apa dia mengganti
namanya? Hmmm, gak ada. Aneh.
“Gas, kayaknya Wisnu delete BBM gue deh”
aku mengirim BBM ke Bagas melaporkan apa
yang terjadi dengan penuh bingung.
“Hmmm.. coba gue tanya ya”
“Katanya dia abis upgrade BBM, beberapa
kontak ilang. Nanti dia add lo lagi” jawab
Bagas.
“Oh, Oke.”
Aneh ah..

Wisnu meng-add BBMku lagi, dan tak lama
setelah itu.
“Halooooo”
“Ya?”
“Maaf, tadi abis upgrade BBM dan gak tau
kenapa beberapa kontak ilang. Maaf ya : )”
“Iya, gak apa : )”
“Hehehe”
“Hehehe, gak marah kan?”
“Gak, kenapa juga mesti marah? : )”
“Okay : )”

Obrolan kami makin sering, hampir tiap jam
kami chat, sudah hampir dua bulan kami
mengobrol, tapi tidak ada tanda-tanda Wisnu
meminta no teleponku untuk mengobrol lebih
dekat apalagi mengajak ketemuan. Tak apa,
aku nyaman bersama dia, ada Wisnu aku tidak
lagi merasa sepi. Ada yang aneh, sudah 5 kali
BBMnya hilang dari list BBMku, pertama
karena BBM diupgrade, kedua karena tidak
mau meng-end-chat tapi malah kehapus,
ketiga karena dia ganti BB, keempat dan
kelima aku bahkan sudah tidak mau bertanya
lagi alasan apa yang akan dia berikan.
Aku nyaman. Dia membuatku tidak lagi
sendirian. Tidak lagi memikirkan Ario.

“Gas, Wisnu tuh orangnya kayak gimana sih?”
tanyaku ke Bagas selagi kami mengobrol di
teras rumahku.
“Hmmm, asik sih. Anak muda banget, anak
orang ada, jadi kalau sedikit keliatan perlente
dan manja ya gitu deh. Tapi dia anaknya asik
kok” jawab Bagas sambil tersenyum.
“Oke. Kapan dia terakhir pacaran?”
“Hmmm, gak tau sih persisnya kapan, tapi
yang pasti dia sekarang sendiri. EH, kalau gak
salah tahun lalu deh, abis itu dia gak lagi deket
sama siapa-siapa”
“Serius? Cowok dengan keriteria yang baru
aja lo sebutin dan tampang kayak dia?”
“Banyak sih yang suka sama dia, tapi..”
“Tapi kenapa? Dia belum move on?”
“Nggak, dia udah lupa sama mantannya.
Hmmm, dia tuh pernah deket sama pacar
orang, dan cewek ini posesif banget, gak
ngebiarin dia deket sama cewek manapun.
Dan bodohnya Wisnu nurut.”
“Oh ya? Kapan itu kejadiannya?”
“Gak lama setelah dia putus”
“Lo pernah ketemu cewek itu?”
“Pernah, beberapa kali”
“Cantik?”
“Cantikkan lo”
“Hmmm, kok Wisnu sampe mau jadi
selingkuhan?”
“Ya mana tau, tapi sih pas malam gue kenalin
lo ke dia, Wisnu baru aja curhat, kalau dia mau
lepas dari cewek itu”
“Kenapa?”
“Karena cewek itu bohong, janji mau mutusin
pacarnya demi dia, tapi gak diputus-putusin”
“Hmmm, jadi sekarang Wisnu udah gak
berhubungan lagi sama cewek itu?”
“Setau gue dan menurut pengakuan dia sih
udah nggak. Rin, lo mau kan bantu gue bikin
Wisnu lepas dari cewek itu? Dan gue liat
kayaknya kalian cocok”
“Cocok dari mana? Gue ketemu dia aja belum
pernah”
“Hah? Masa?”
“Yailah, kalau gue ketemuan sama dia, pasti
gue bakal cerita sama lo. Jangankan
ketemuan, teleponan aja belum pernah”
“Tapi lo suka kan sama dia? I mean, selama
chat nyambung? Nyaman”
Aku menjawab pertanyaan Bagas sambil
memanggutkan kepala. Ya, aku merasa
nyaman dengan Wisnu. Entah ini euphoria
setelah putus atau bukan, yang pasti aku suka
berlama-lama mengobrol dengannya.
Tapi bagaimana dengan perempuan itu? Apa
benar Wisnu sudah tidak berhubungan lagi
dengan dia? Tanyaku di dalam hati.

Sudah memasuki bukan ketiga aku dan wisnu
berkenalan, mengobrol melalui BBM. Aku
selalu tersenyum tiap kali mengobrol
dengannya, sampai-sampai ibu mengira aku
sudah punya pacar baru. Pacar baru? Ketemu
saja belum pernah. Sigh..

“Halooooo..”
“Ya?”
“No telepon kamu berapa?”
“Hmm?”
“Ya, nomer kamu berapa? Aku mau telepon
sekarang.”
“088168888888”
“Aku telepon kamu yaaaa”
“Tumben?”
Tidak lama setelah itu Hpku berdering, nomer
tak dikenal. Wisnu?
“Halo?”
“Ririiiiiiin, ini Wisnu”
“Eh, hai.. tumben?”
“Hehehe iya nih, aku lagi kejebak macet,
bosen banget. Terus keinget kamu, jadi
pengen ngobrol”
“Ya, biasanya juga kita ngobrol kan di BBM.
Maksudnya tumben telepon?”
“Iyaaaa, gak apa kan aku telepon kamuuuuu?”
“Iya, Gak apa.”
Aku sungguh senang, akhirnya aku bisa
mendengar suara Wisnu. Jadi seperti ini suara
orang yang selama ini menemaniku
menghabiskan tiap jam di manapun? Aku
tersenyum menemaninya di telepon hingga dia
sampai ke rumahnya.
“Aku gak apa kan, kalau habis ini bakal sering
telepon kamu?” tanyanya sesampainya dia di
rumah setelah selama di perjalanan aku
menemaninya.
“Gak apa, asal jangan pas jam kerja. Atau
setidaknya kabarin dulu ya”
“Siaaaap ibu booooos”
Setelah Wisnu selesai bersih-bersih dia
kembali meneleponku sampai kami ketiduran.
Kami makin sering berkomunikasi.
Sudah seminggu ini aku dan Wisnu mengobrol
melalui telepon, tinggal ketemuannya aja nih,
dia gak juga memberikan tanda-tanda mau
mengajakku ketemu. Apa aku aja ya yang
ngajak dia duluan? Hmmm, nggak ah, malu.
Tapi, kalau ternyata dia memang menunggu
aku yang ngajak dia ketemuan duluan gimana?
Tapi kan dia cowok, seharusnya memang dia
duluan kan yang ngajak? Duh, aku bingung.

Biasanya selalu Wisnu yang menghubungiku
duluan, karena pernah suatu hari dia BBM
bilang dia yang akan menghubungiku duluan di
hari itu, seperti ada yang salah, perasaanku
gak enak, tapi aku menurutinya. Dan setelah
itu aku selalu menunggu Wisnu
menghubungiku duluan, meski sebenarnya aku
sering sekali tidak tahan untuk
menghubunginya duluan. Aku sungguh
kesepian.
Seperti malam ini, sudah dua malam Wisnu
selalu menghilang sedari sore, dan aku tidak
pernah bertanya kemana dia. Sendirian lagi
deh.. Sigh..

Hpku berdering, menampilkan nama yang tiga
hari ini aku tunggu. Ya, Wisnu. Sudah tiga hari
kami tidak teleponan, masih ngobrol di BBM
sih, tapi dia pasti menghilang di malam harinya.
“Ririiiiiiin, ketemuan yuk? Kamu di mana?”
“Eh?”
“Iya, yuk. Aku lagi di daerah Sudirman nih,
deket kantor kamu kan? Mau aku jemput?”
Aku sungguh tidak bisa menebak jalan pikiran
lelaki satu ini, semuanya selalu tiba-tiba,
semuanya ada di ‘tangan’ dia.
“Oke, kita ketemu di GI aja, kalau sudah
sampai sana kabarin”
“Loh, gak mau aku jemput aja?”
“Gak usah, aku sudah di jalan, kita ketemu di
GI ya”
“Siaap, boooos”
Aku menutup telepon dan segera
mengeluarkan cermin dari dalam tasku. Shit,
pertemuan pertama kenapa harus mendadak
seperti ini? Dan kenapa juga aku gak nolak aja
tadi? Tapi kalau nanti aku tolak kapan lagi aku
bisa ketemu dia? Errrgh..gerutuku sambil
membenarkan rambut dan make up-ku.
Wisnu BBM, dia sudah di GI, di salah satu
restoran jepang di mall yang selalu saja
membuatku tersasar jika ke sana. Oke, West
Mall, gak boleh nyasar.
Tunggu, tunggu..lebih baik ke toilet dulu,
rapihin make up. Duh.. aku kenapa grogi gini?
Tarik nafas.. buang.. calm.. santai Rin, santai..
Selesai membenahi dandananku, aku berjalan
dengan perlahan menuju restoran masakan
Jepang yang Wisnu maksud, sudah hampir
dekat, aku mengeluarkan cerminku sekali lagi.
Oke, rapih. Sip.
Aku tersenyum melihat pria berbadan bidang,
cokelat, berkaos putih berkerah dan jeans biru
gelap, manis, senyumnya.. tidak dia tidak
manis, dia tampan.
“Hehehe, Wisnu” dia mengulurkan tangan,
tangannya besar, genggamannya kuat tapi
lembut.
“Ririn” jawabku sambil tersenyum menatap
matanya yang indah, dia sungguh tampan.
Jauh lebih tampan dari Ario.
Kami mengobrol semalaman hingga retoran
tersebut hampir tutup. Wisnupun mengantarku
pulang hingga jalanan depan, dia tidak bisa
masuk karena portal sudah ditutup, iya, tadi
kami berkeliling Jakarta dulu untuk
menghabiskan waktu lebih lama.
“Makasih ya, sudah mau ketemu aku” ucapnya
setelah aku turun dari mobil.
Aku tersenyum melihatnya, dia nyata, teman
mengobrol yang selama ini mengembalikan
senyumku nyata. “Iya, sama-sama. Terima
kasih juga sudah ditraktir dan diantar pulang”
“Sama-sama. Gih, sana masuk, nanti
dimarahin ibu dan gak boleh jalan sama aku
lagi”
Aku tersenyum mendengar ucapannya,
tatapanku tak lepas dari senyumnya yang
sangat ceria.
“Oke, dah..”
“Dadah, Ririiiiiin..”

Ah, Wisnu. Dia sungguh sosok yang selama ini
aku cari secara fisik, tinggi, kulit cokelat, atletis
dan mempunya senyum yang ceria, dia pun
sangat suka tertawa, dan obrolannya itu,
sungguh menggambarkan dirinya yang
berpengetahuan luas, apa aja tau. Nyambung..
ah, nyaman tepatnya. Aku nyaman saat ada di
sampingnya.

Sore hari, Wisnu belum juga menghubungiku,
apa aku harus menghubunginya duluan? Tapi
kan selama ini dia yang hubungin aku duluan.
Apa dia ilfil ya setelah pertemuan semalam?
Aarrgh.. iya, kayaknya dia ilfil deh. Aduh, aku
harus gimana? Pasti ini karena kemarin aku
pulang kantor dan udah kusut banget deh.
Sapa duluan gak ya.. duh.

“Wisnu..” akhirnya aku menyapanya duluan.
“Ya..” Jawabnya.
“Lagi apa?” Syukurlah, dia balas. Hmmm, aku
nanya apa ya.. ucapku di dalam hati.
“Lagi ngerokok di kampus, nunggu dosen nih..
Mau bimbingan”
“Oh, Okay. Selamat bimbingan. :)”
“Iya, terima kasih.. Eh, nanti sore mau
kemana? Aku mau makan sate nih, mau
nemenin?”
“Gak kemana-mana, makan sate di mana?”
“Kamu tau di mana tempat makan sate yang
enak? Ajak aku ke sana”
“Hmmm, bentar.. Ah, iya, ada nih, di deket
rumahku, kamu kemari aja”
“Okey, kita ketemu di tempat kemarin aku
ngaterin kamu ya”
“Iya, see you :*” Duh, kenapa harus pake emot
cium segala sih, ilfil deh dia pasti..
“Iya, nanti aku jemput ya :)” jawab Wisnu.
Tuh kan, dia pasti ilfil.

Jam 7 sebentar lagi, kali ini aku harus terlihat
cantik, gak boleh kusut lagi kayak kemarin.
Aku mengenakan dress selutut, agak
berlebihan sih buat sekedar makan sate
doang, tapi aku harus cantik. “Kenapa?”
seolah ada suara muncul di kepalaku,
menghentikanku sejenak dari memakai sepatu.
Entah, mungkin aku jatuh cinta. Damn.

“Hey, cantik” sapa Wisnu sat aku memasuki
mobilnya.
Aku tersenyum, dia bilang aku cantik.
“Hai, capek ya? Gimana bimbingannya?” aku
balas menyapanya.
“Biasa aja, ada revisian lagi, pokoknya
targetku tahun ini kelar”
“Iya, aku yakin kamu bisa kok”
Layar Hp Wisnu menyala, raut wajah Wisnu
terlihat senang. Dia memberiku isyarat untuk
diam. Menepikan mobilnya dan keluar mobil
untuk menjawab telepon itu.
Siapa yang kira-kira menghubunginya? Apa
perempuan itu? Katanya Wisnu sudah tidak
berhubungan dengan perempuan itu lagi? Apa
sebaiknya aku bertanya tentang perempuan
itu. Dulu dia pernah menceritakan sedikit
tentang perempuan itu ke aku, tapi tidak
banyak, intinya dia mau lepas dari perempuan
itu.
Wisnu kembali memasukin mobil, aku paling
tidak bisa menyembunyaikan apa yang aku
rasa, aku memberinya senyum kecut.
Seharusnya dia sadar, aku tidak menyukai
orang yang menerima telepon sampai harus
meninggalkanku sendirian seperti tadi.

Akhirnya kami sampai, kami banyak mengobrol
selagi makan. Hmmm, aku sih yang lebih
banyak cerita, dia mendengarkan dan
mengomentari ceritaku saja. Menyenangkan,
sepertinya dia pendengar yang baik.

“Hey, makasih ya udah nemenin aku makan”
ucap Wisnu sesampainya di depan rumahku.
“Iya, sama-sama. Kamu jangan murung terus,
konsentrasi ke skripsi aja, biar cepat kelar”
ucapku sambil melepaskan sitbelt, ya.. tadi
sepanjang perjalanan Wisnu sedikit beda
dengan kemarin, dia seperti sedang
memikirkan sesuatu.
Wisnu meraih tanganku, menarikku mendekat,
jantungku berdegup kencang. Dia mencium
bibirku, aku menutup mata, merasakan harum
tubuhnya, bibirnya yang lembut dan.. ya,
Tuhan.. sepertinya aku jatuh cinta. Secepat
ini?
Aku tersenyum saat dia melepaskan
ciumannya dengan pelan, aku mengecup
keningnya sebelum keluar dari mobil.
Tersenyum sampai mau terbang saat
memasuki rumah. Langkahku sungguh ringan.
Aku bahagia.
Ah, Wisnu… aku melempar tubuhku ke kasur
sambil memegang bibirku yang baru saja
menyentuh bibirnya.

Pagi ini aku beranikan diri lagi menyapa Wisnu
duluan, aku mau mengajaknya nonton. Kalau
aku ajak dia nonton film Korea kesukaanku dia
mau gak ya kira-kkira dia, pikirku di dalam hati.
“Pagi, Rin”
SMS dari Ario. Tidak, aku tidak akan
menjawabnya..
Layar Hpku menyala, Ario menelponku. Mau
apa lagi sih dia? Pikirku di dalam hati. Aku
tidak akan mengangkat telepon dari dia.
“Rin, angkat telepon aku, Rin. Aku mau
bicara.” Ario kembali meng-sms-ku
“Bicara apa lagi?” jawabku.
“Tentang kita, semua tentang kita”
“Kita? Sejak kamu tidur dengan perempuan itu,
sudah tidak ada lagi tentang kita, sudah tidak
ada lagi ‘kita’” jawabku sinis.
“Rin, aku menyesal.. sudah sejak dua bulan
lalu aku sendiri, aku terus memikirkanmu, aku
mengumpulkan banyak keberanian untuk
menghubungimu. Tolong, beri aku waktu untuk
meminta maaf”
“Aku sudah memaafkanmu”
“Boleh aku bertemu lagi denganmu?”
“Tidak, aku belum mau bertemu denganmu.”
“Apa kamu sudah menemukan penggantiku?”
“Sudah” smsku terakhir ke Ario, dan dia tidak
menjawabnya lagi.
Ya, aku sudah menemukan pengganti Ario di
sini, di hatiku, Wisnu. Tapi entah, apakah aku
ada di hatinya? Entah..

Hari ini aku mengenakan dress merah selutut,
dress yang paling aku banggakan, kata teman-
teman aku terlihat cantik mengenakan dress
ini.
Ah, Wisnu sudah sampai ternyata, aku telat.
Seperti biasanya dia terlihat tampan, tubuhnya
yang atletis membuatnya bagus mengenakan
pakaian apapun.
Kami memutuskan untuk menonton film Korea
yang sejak dua hari lalu aku bahas ke dia. Dia
menuruti seleraku, mau menemaniku. Ya,
seperti dulu Ario di awal kedekatan kami.
Wisnu selalu menggandeng tanganku di
manapun, aku merasa nyaman, seolah dia
bangga membawaku pergi, memamerkanku ke
dunia. Aku pun sebaliknya, aku selalu
tersenyum tiap kali dia menghangankan
tanganku dengan genggaman tangannya.
Wisnu tetiba berhenti selagi kami berjalan,
matanya tertuju ke sosok seorang perempuan
yang berdiri 5 meter di hadapan kami. Siapa
perempuan itu? perempuan itu pun menatap
Wisnu dengan raut wajah yang aneh, mereka
sepertinya saling mengenal, tapi kenapa gak
saling sapa? Apa perempuan itu perempuan
yang Bagas ceritakan? perempuan yang
berhasil membuat seorang pria seperti Wisnu
menyanggupi untuk menjadi simpanannya?
Cantik.
Perempuan itu belok ke kanannya, aku dan
Wisnu kembali berjalan menuju toilet, Wisnu
perlahan melepaskan genggaman tangannya,
aku mencegahnya, kali ini aku yang
menggenggam tangannya, dan melepasnya
saat kami sampai toilet.\

Siapa perempuan tadi?
Wisnu belum juga keluar toilet, aku BBM Bagas
selagi menunggunya.
“Gas, cewe yang pernah lo ceritain ke gue itu
ciri-cirinya gimana?”
“Cewe yang mana, Rin?”
“Yang berhasil bikin Wisnu jadi
selingkuhannya”
“Oh, Adel”
“Oh, jadi namanya Adel. Iya, dia kayak
gimana?”
“Putih, tingginya se-elo, kurus, rambut sebahu.
Hmmm muakanya dewasa, wajarlah dia 5
tahun di atas kita”
“Mbak-mbak?”
“Kurang lebih”
“Kayaknya tadi gue ngeliat dia, gue dan Wisnu.
Dan Wisnu jadi aneh gitu”
“Serius? Ketemu di mana?”
“Nanti kita lanjutin lagi, Gas. Wisnu udah
dateng”
“Well, Okay..”

Aku tersenyum melihat Wisnu keluar toilet
dengan raut wajah yang kusut. Kami berjalan
ke bioskop, kali ini aku yang bergelayut di
lengannya, dia tidak menggenggam tanganku
seperti biasa, ada yang aneh.

Wisnu banyak diam kali ini, di sepenajang
perjalanan mengantarku pulang dia hanya
mendengarkanku bercerita, sesekali
mengecup tanganku yang di sepanjang jalan
dia genggam. Ya, di dalam mobil.
“Kamu masih berhubungan sama dia?”
tanyaku yang membuat Wisnu sedikit terkejut.
“Maksudnya?” jawabnya singkat.
“Perempuan yang sempat menjadikanmu
selingkuhan, yang pernah kamu ceritain ke aku
dulu di awal kita dekat”
“Nggak, udah sebulan, sejak kita sering jalan,
aku udah gak ada komunikasi sama dia”
jawabnya sambil mengelus rambutku. Tuhan,
aku benar-benar sudah jatuh cinta dengan
lelaki ini, ucapku di dalam hati menikmati
sentuhannya yang lembut.
“Hmmm, lalu.. bagaimana dengan kita?”
“Masudnya?”
“Iya, kita.. we almost do everything that lover
do, I think.. tapi aku masih belum jelas, kita ini
apa”
“Ririn..” Wisnu menghelakan nafas.
“..kita terlalu cepat bahas ini, aku nyaman
sama kamu, tapi aku gak bisa kalau sekarang,
sebentar lagi skripsiku selesai. Aku mau
konsen dulu ngerjain skripsi, habis itu kita
bahas lagi ya”
Aku terdiam, aku mengecup keningnya.
Hangat, aku merasa hangat tiap kali bagian
tubuhku tersentuh olehnya.
“Aku gak mau ada yang berubah di anatara
kita, aku nyaman sama kamu. Sungguh. Kamu
mau kan nungguin aku?”
Oh, God.. aku tau yang akan terjadi di sini, dia
masih belum merasakan apa yang aku
rasakan. Semua ini pasti karena masih ada
perempuan lain di hatinya.
Tidak aku tidak mau menyerah, aku yakin aku
bisa mengisi hatinya, mengganti posisi
perempuan itu. Aku hanya perlu bersabar.
Aku menyanggupi pintanya. Aku
menggangguk seraya menyetujui pintanya
untuk ‘menunggunya’. Bukan, bukan
menunggu sampai skripsinya selesai,
menunggu dia mengusir wanita itu dan
menggantinya denganku. Aku mau. Aku mau
nunggu kamu, Nu. Ucapku di dalam hati.
“Kamu mau kan nunggu aku?” tanyanya
kembali.
“Iya, aku akan nungguin kamu. Nunggu urusan
kamu beres” aku menjawab pertanyaannya
lagi dengan tegas. Iya, aku akan nunggu
kamu, Nu. Nunggu kamu sadar, aku sangat
membutuhkanmu untuk membuat senyumku
berfungsi lagi.

Setelah malam itu, aku dan Wisnu makin
jarang berkomunikasi. Sudah seminggu aku
tidak bertemu dengannya, dan akupun tidak
punya keberanian untuk mengajaknya
bertemu. Apa aku harus menghubunginya
duluan? Setauku besok dia sidang skripsi. Aku
tidak akan memaksakan diri meminta
penjelasan tentang hubungan kami, tentang
kita. Aku hanya ingin tidak jauh dari dia.
“Aku gak tau apa yang terjadi sama kamu,
kamu gak jawab telepon dan semua pesanku.
Aku ada buat salah? Kamu baik-baik aja?” aku
mengirimkan BBM ke Wisnu, seperti
sebelumnya, BBMku tak berbalas. Sakit
rasanya, harga diriku berteriak ‘bodoh’ tiap kali
aku tak mendapati apa-apa ditiap pesan yang
kukirim.
“Besok kamu sidang skripsi, semangat ya..”
Dasar keras kepala, aku masih saja mencoba
agar mendapatkan sedikit saja balasan
darinya.
“Iya, terima kasih : )” Ya, Tuhan.. akhirnya
berbalas. Sungguh hati ini sakit mendapati
balasannya yang sangat singkat, tapi aku
sedikit lega, setidaknya aku tau dia baik-baik
saja, setidaknya dia masih bisa membalas
BBM. Setidaknya, dia masih bisa kusentuh
meski hanya dengan cara seperti ini.
Aku menjawab ucapan terima kasihnya
dengan sebuah senyum.

“Gas..”
“Yes..”
“Tanggung jawab”
“Wiw? Apaan?”
“Lo yang ngenalin gue sama Wisnu, sekarang
gue jatuh cinta sama dia, dianya gak jelas” aku
BBM Bagas untuk mencurahkan sedikit unek-
unekku.
“Lah, gue pikir lo berdua gak ada kabar baik-
baik aja. No news is good news kan
biasanya?”
“Hmmm”
“Kenapa, Rin?”
“Bagas aneh. Aneh sejak ketemu perempuan
itu di mall gak sengaja waktu itu, dia juga jadi
ngilang. Gue hubungin duluanpun gak ada
balasan, ada sih, tapi singkat dan jarang
banget di bales”
“Lah kok bisa?”
“Apa salah gue ya? Gue nanya kejelasan
hubungan kita ke dia malam itu”
“Hmmm”
“Salah ya, Gas?”
“Cowok biasanya kalau jawab gitu emang
karena gak mau sih, Rin”
“Gak mau gimana?”
“Ya, masih belum amu jadiin lo sesuatu, tapi
aneh deh, Wisnu tuh kalau cerita tentang lo ke
gue kayaknya bahagia banget. Seneng gitu
bisa jalan sama lo, muji-muji lo. Emang rada-
rada tu anak”
“Hmmm”
“Yah, hmmm gue mau cerita sama lo
sebenernya, tapi gue takut lo jadi gak mau
deket lagi sama Wisnu kalau gue ceritain dari
awal”
“Apa? Cerita gak!”
“Hmmm”
“Apa, Gas?”
“Gini, Adel tuh minta Wisnu kelarin skripsinya,
cari kerja trus janji bakal ninggalin pacarnya,
dan Wisnu percaya banget sama hal itu”
“Damn. Kenapa lo gak cerita sama gue dari
kemaren?”
“Habis gue pikir Wisnu udah move on dengan
adanya elo. Dia keliatan bahagia tiap cerita
tentang lo. Gu ulang ya, muji-muji lo terus.
Mana gue tau bisa kayak gini”
Aku terdiam, apa maksud Wisnu juga
menyuruhku menunggunya hingga skripsinya
kelar? Kenapa jadi seperti ini? Dia semangat
menyelesaikan skripsi karena ditunggu
perempuan lain, mengejar janji perempuan
lain.
“Rin, maafin gue. Kalau gue gak ngenalin lo ke
Wisnu, gak akan kayak gini. Gue Cuma
pengen liat lo senyum lagi. Maaf kalau harus
jadi kayak gini”
Aku tidak menjawab BBM Bagas.
Besok, hari itu akan tiba besok, aku harus di
sana. Aku harus ada di sana menemaninya,
menemaninya mengambil keputusan, aku atau
perempuan itu, besok semuanya harus jelas.
Patahlah sekalian, jika memang seharusnya
patah. Setidaknya aku akan terbebas dari janji
dan penantian, aku harus ke sana.

Pagi ini Wisnu sidang skripsi, aku harus tampil
cantik menyambutnya. Dari Bagas aku tau di
mana ruangan tempat dia sidang, dan jam
mulai sidang, aku akan menunggunya tepat di
pintu. Menyambutnya dengan seikat bunga
mawar yang tadi baru kubeli tidak jauh dari
rumahku. Bunga pertama untuk seorang lelaki.
Aku belum pernah memberi bunga untuk lelaki
manapun. Semua ini aku lakukan untuk Wisnu,
lelaki yang telah mengembalikan senyumku
dari kehancuran.

Kata temannya, Wisnu baru saja masuk ruang
sidang, aku masih ada waktu untuk ke toilet
merapikan dandananku, aku harus tampil
cantik, aku mau meperjuangkan cintaku. Cerita
kita tidak boleh terhenti sampai sini. Kita. Aku
dan Wisnu.
Aku kini berdiri tepat di depan pintu ruang
sidang Wisnu, sudah satu jam, seharusnya
sebentar lagi Wisnu keluar, aku sungguh
gugup, detak jantungku serasa mau meloncat
tiap kali aku bernafas. Bahagiaku akan
mendapatkan jawaban sebentar lagi.
“Selamat ya, ganteeeeeng” aku segera
memeluk Wisnu yang terlihat tampan
mengenakan setelan jas keluar dari ruang
sidang.
“Hey, terima kasih. Kok gak bilang mau
kemari?” Wisnu terlihat terkejut dengan
kehadiranku.
Apa aku terlalu memaksakan diri? Tidak, aku
ingin menyelamatkan hati, menyelamatkannya
dari penantian yang tak berujung. Aku tidak
bisa lagi menunggu, aku butuh kepastian,
setidaknya aku telah menepati janjiku,
menunggu sampai skripsinya selesai.
“Kalau bilang namanya bukan suprise dong.
See, sekarang kamu udah lulus, dan aku tetap
di sini nunggu kamu, seperti janjiku” jawabku
dengan senyum yang kupaksakan, sakit sekali
hati ini, aku mempertaruhkan harga diriku,
demi sebongkah kebahagiaan yang
kupercayakan padanya sejak pertam kali
hatiku sadar, aku mencintainya.
Wisnu melihat jam tangannya, dia terlihat
tergesa, tidak menjawab ucapanku, namun
meninggalkanku dengan terburu-buru, tiga kali
aku melihatnya menengok jam tangannya.
Aku mengejarnya sampai tempat parkir, sulit
sekali berlari dengan menggunakan sepatu
berhak tinggi. Bagas, di mana Bagas? Aku
butuh bantuannya, aku menghubungi Bagas.
“Gas, Wisnu..”
“Hoi, napa Rin? Kok lo ngos-ngosan gini?
Kenapa Wisnu?” Bagas seharusnya juga ada
di kampus, aku mau minta tolong dia.
“Ke tempat parkir sekarang. Di depan, Wisnu
tetiba pergi ninggalin gue, mukanya panik dan
sedih, tolong ikutin dia, jagain dia, tolong Gas..
tolong jaga dia”
“Oke, gue ambil motor sekarang, gue
kayaknya tau dia kemana” Bagas menutup
teleponnya, aku masih mengatur nafasku,
mobil Wisnu sudah tak terlihat lagi, semoga
Bagas bisa menemukannya.
Aku tamat. Ucapku di dalam hati. Bahkan dia
tak menghiraukan kehadiranku. Aku
tersenyum geli, melihat seikat bunga yang aku
tenteng, tertawa. Menertawai kebodohanku
tepatnya.
“Rin, ke Jalan Santoso no 43 sekarang.. nanti
gue bawa Wisnu ke sana. Itu rumah dia” BBM
dari Bagas.
“Lo di mana? Ketemu Wisnu?”
Bagas tidak menjawab pertanyaanku. Aku
mengikuti saran Bagas untuk ke Jalan
Santoso, tidak begitu jauh dari sini.

Rumah besar berpagar tinggi warna hitam,
halamannya luas, namun sepi.
“Permisi, saya temannya Wisnu. Boleh saya
tunggu Wisnu di sini?” ucapku kepada wanita
tua yang sedang menyiram tanaman di
halaman rumah besar itu. Sepertinya tidak
mungkin mamanya Wisnu, usianya terlalu tua
jika benar Wisnu adalah anak satu-satunya di
keluarganya.
“Oh, iya, silahkan masuk.. Mas Wisnunya lagi
sidang skripsi kan hari ini. Belum pulang”
“Iya, saya tau. Saya boleh tunggu di sini?”
“Boleh, Neng.. masuk sini, duduk. Mau minum
apa? Biar bibik bikin kan”
“Gak usah, Bi. Terima Kasih, aku bunggu aja di
sini” ucapku sambil berjalan menuju kursi di
teras rumah lelaki yang belakangan ini
menguasai pikiranku.
Hampir satu jam aku menunggu, tak ada kabar
dari Bagas maupun Wisnu, bibik kembali
menawariku minum, kali ini aku iyakan untuk
segelas air putih. Aku perlu minum, menelan
mentah-mentah minpi yang terlanjur kutulis
sendiri bersama Wisnu. Hancur.
Tidak akan pernah ada cerita tentang aku dan
Wisnu, penantianku sia-sia, pakaian ini, make-
up cantik ini, semuanya sia-sia. Tidak akan
pernah ada kita diantara aku dan Wisnu. Tak
sadar aku meneteskan air mata, bersamaan
dengan itu aku mendengar suara mesin mobil
mendekat, membunyikan klakson.
Bagas keluar dari mobil membukakan pagar,
kembali masuk ke mobil dan memasukkannya.
Wisnu menatapku dari dalam mobil, raut
wajahnya sedih, seperti aku di sini, aku terlihat
mirip, serupa, bendungan air mata ingin pecah
dari mata kami yang saling bertatapan.
Bagas dan Wisnu mendekat, aku berdiri.
Bagas berpamitan untuk menggambil motornya
yang ditinggal di rumah Adel. Ah, benar..
rumah Adel. Ternyata ke sanalah Wisnu tadi
pergi meninggalkan aku.
Aku menatap matanya dalam-dalam, dia
menundukkan kepalanya. Aku mengamati
seluruh tubuhnya, dia terlihat lemas, hatiku
menangis, menangis melihat seseorang yang
aku cintai hatinya dibuat hancur oleh
perempuan lain.
“Waktu terasa semakin berlalu, tinggalkan
cerita tentang kita. Akan tiada lagi kini
tawamu, tuk hapuskan semua sepi di hati.
Ada cerita tentang aku dan dia, dan kita
bersama saat dulu kala. Ada cerita tentang
masa yang indah, saat kita berduka saat kita
tertawa.
Teringat di saat kita tertawa bersama,
ceritakan semua tentang kita.”
Wisnu membuat langkah, duduk tanpa kata di
kursi dekat kursi yang tadi aku duduki. Aku
terus melihatnya, aku tidak tau apa yang baru
saja Wisnu lihat sampai sedemikian hancur.
“Wisnu, kamu bilang, kamu akan ninggalin
dia?” aku akhirnya mengeluarkan suara.
Airmataku tak lagi terbendung, aku menangis
melihat dia tak jua mengeluarkan suara.
Aku menarik nafas dan memejamkan mata
sejenak, aku menghampirinya, memeluknya
yang sedang terduduk. Dia membalas
pelukkanku, namun tak jua mengeluarkan
sepatah kata.
“Aku pikir, aku berhasil menggantikan
posisinya di hati kamu, Nu” Ririn perlahan
melepas pelukkannya dan berdiri, dia ikut
berdiri. Aku lihat matanya mengeluarkan
kesedihan yang sedari tadi dia tahan.
“Aku gak pantes buat kamu, Rin” ucapnya lirih.
Tangisku makin tak terbendung.
“Iya, kamu memang gak pantes buat aku.
Sama kayak perempuan itu yang gak pantes
buat kamu, tapi kamu terus nyimpen dia di hati
kamu, sampai saat terakhir, sampai semua
kemungkinan udah gak ada lagi yang tersisa”
Dia menatapku, menghapus air mata yang
sedari tadi mengalir di pipiku dengan tangan
yang biasa dia gunakan untuk
menggandengku. Yang tadinya kupikir sebagai
bentuk bangganya dia akan aku.
“Kamu jangan nangis, aku gak pantes kamu
nangisin” ucapnya lagi, hatiku hancur tiap kali
dia mengeluarkan kata sambil terisak.
“Nu, pernah kah aku sedikit aja ada di hati
kamu? Sedikit aja ada di pikiran kamu?”
Wisnu tertunduk, lagi-lagi dia tidak menjawab
pertanyaanku. Bodohnya aku, masih saja aku
bertanya seperti itu, sungguh, aku ingin
mendengarnya keluar dari mulutnya sendiri,
agar aku jera, agar aku sadar, selama ini aku
bermimpi terlalu jauh.
Aku makin tak lagi bisa menahan tangisku tak
bersuara. Aku terisak, Wisnupun memelukku.
“Aku gak pantes buat kamu, Rin” ucapnya
selagi aku di dalam peluknya.
Aku terdiam mendengar ucapnya, hanya bisa
sekedar membalas peluknya dengan erat,
sangat erat. Aku tidak mau melepaskan
pelukkan ini.
“Aku gak pantes buat kamu, Rin. Aku gak
pantes.” Ucapnya lagi yang makin membuat
pelukkanku makin erat. Memeluk dengan
kekecewaan kami masing-masing yang
terdalam.
“Iya, Aku gak pantes buat kamu” ucapku di
dalam pelukkannya.
—end—

Posting Komentar

0 Komentar