Recents in Beach

Cerpen Peterpan " Jauh Mimpiku "

by @merelakan
#cerpen peterpan - (se)jauh (ini) mimpiku (?)
“Rin! Ririiiiiin…” aku memanggilnya.
“Bagas!”
“Rin, temenin gue makan roti bakar yuk? Laper
banget nih.”
“Kapan? Sekarang?”
“Iyalah, yuk! Ayolah, kapan lagi kita bisa
makan roti bakar berdua sementara lo
kebanyakan ngabisin waktu sama kerjaan lo?”
ujarku sembari tertawa dan menarik-narik
tangannya seperti anak kecil.
“Aduuuh, jangan kenceng-kenceng! Sakit tauk!
Yaudah
deh yuk, tapi gue balik dulu ya, ganti
baju sama pakai softlens. Gak mau kan gue
jalan nabrak-nabrak?”
“Iye iye, buruan kalau gitu. Darimana sih lo,
hari minggu masih keliatan sibuk aja?”
tanyaku.
“Biasa disuru ibu belanja.”
__
Ingatanku melayang ke 3 tahun yang lalu,
dimana aku pertama kali mengenal perempuan
ini. Perempuan yang sedari dulu tak pernah
berubah.
“Rin, masih sedih?” aku menegurnya karena
kulihat lamunannya tak berhenti sedari tadi. Ia
terkejut.
“Udah sih, masih aja pura-pura tegar di depan
gue? Kita kan tetanggaan dan temenan udah
lama Rin, Ario gimana?” lanjutku yang diikuti
dengan mencomot roti bakar sebelum terlanjur
dingin. Ririn melihatku, tersenyum, meski aku
tahu ia tak sedang benar-benar tersenyum.
“Yah gini deh.. Hehe.. Tiga tahun. Boleh lah ya
kalau
kali ini gue sedihnya lamaan dikit” Ririn
bergegas mengalihkan pandangannya,
mencari sedikit kelegaan dengan menghirup
udara disekitarnya dalam-dalam. Bagi Ririn, 3
tahun sudah cukup untuknya menabung ribuan
kenangan
bersama Ario. Angin sore itu
menerpa rambut hitam lurus yang sengaja tak
diikatnya. Sementara matahari turun dengan
semburat merah, Ririn masih bersusah payah
menyembunyikan kedua bola matanya yang
basah.
“Tapi Rin, ini kan udah bulan ketiga sejak lo
dan Ario putus kan? Gak mau nyoba sama
yang lain? Cowok banyak Rin” aku berusaha
sedikit menghiburnya, berusaha membuat Ririn
untuk kembali tersenyum tepatnya.
“Hehehe.”
“Mau gue kenalin sama temen gue? Hmmm…
Tapi siapa ya? Bentar.” Aku mengambil BB di
kantong celana, mencari sebuah nama di
daftar kontak sampai akhirnya Ririn memotong
aktivitasku.
“Gak perlu, Gas. Gue mau nikmatin masa
jomblo dulu, udah lama kan gue ngga jomblo?”
“Sedih amat deh muka lo, ampe kapan mau
kaya gini? Mana Ririn gue yang dulu
uwuwuwuwuw” sembari aku menarik kedua
pipinya, pipi yang sempat basah oleh air mata
perpisahan, membentuk senyum yang sudah
lama hilang dari sana. Setelah membayar roti
bakar kami, aku mengantarnya pulang.
Kebetulan aku dan Ririn adalah tetangga.
Rumah kami hanya selisih 3 nomor.
__
Sesampainya di kamar aku segera menyalakan
laptop,
ya ada beberapa tugas yang harus
segera kuselesaikan dan entah mengapa,
malam itu udara sedikit panas, kuraih remote
AC dan aku mengaturnya ke suhu yang paling
dingin. Segera angin dingin menerpa
punggungku, memberi sedikit kenyamanan
hingga tiba-tiba kamarku diketuk. Wisnu
ternyata yang ada disana.
“Eh tumben lo kemari, ada apaan?”
“Biasa, ada yang mau gue tanyain tentang
tugas kampus. Hehehe.” Jawab Wisnu sambil
nyengir.
“Yeeee, gitu aja baru deh lo cari gue.” Aku
menyuruhnya masuk dan menyodorkan
sekaleng bir untuknya. Tak beberapa lama
Blackberryku berbunyi. Dari Ririn.
“Gas, gue mau deh lo kenalin ke temen lo”
bunyi pesan BBM dari Ririn. Dengan sigap aku
mengetikkan balasannya.
“Woh, pas banget nih. Gue lagi sama Wisnu,
temen kampus gue yang waktu itu lo bilang
cakep pas gue pasang DP BB sama dia. Gue
kenalin sama dia aja apa? Lagi jomblo juga nih
dia”
“Hmmm.. Kalau menurut baik buat gue boleh
lah”
“Sip, gue suruh dia add pin BB lo yak?”
“Iya.”
“Eh, temen gue ada yang mau kenalan nih
sama lo.”
Wisnu sedikit terkejut “Siapa?” ujarnya sembari
mengerutkan kening.
“Udah, add aja dulu PINnya, ntar kan lo tau
sendiri” Aku menyodorkan Blackberryku ke
Wisnu. Ada perasaan ganjil yang tiba-tiba
muncul. Seperti perasaan akan sebuah
kehilangan.
“Aneh” batinku.
Aku dan Wisnu lanjut mengerjakan tugas
sambil sesekali Wisnu memencet keypad
Blackberrynya.
“Serius amat sih BBMannya, jiyeeee.” Aku
menggoda Wisnu yang sedari tadi senyam-
senyum sendiri dan asik dengan
Blackberrynya.
“Apaan sih lo, ini kan juga ide-ide lo juga”
Wisnu meninju lenganku.
Aku merasa ganjil. Aneh.
__
Sudah menjadi kebiasaanku untuk bangun
pagi dan membersihkan halaman rumah, entah
menyapu, entah sekedar membuang sampah
hari kemarin. Aku melihat Ririn keluar dari
rumahnya.
“Cantik” batinku.
“Rin, gimana Wisnu?” tanyaku saat ia lewat.
“Woy, masih pagi udah teriak-teriak aja.”
“Ciyeee senyam-senyum sendiri. Wisnu..
Wisnu.. Wisnu.. Ririn senyum lagi”
“Udah ya, gue berangkat kerja dulu. Bye.”
“Jiyeeee, Ririn lope lope sama Wisnu ciyeeee.”
“Gas! Rese!” sahut Ririn sambil berlalu dan
menghilang di ujung gang.
Sejujurnya, ada yang mengganjal perasannku
sejak kemarin. Sejak aku mengenalkan mereka
berdua. Seperti perasaan was-was akan
kehilangan. Bagaimanapun juga Ririn adalah
teman terdekatku semenjak 3 tahun yang lalu.
Apalagi akhir-akhir ini aku sering melihat Ririn
murung, aku khawatir.
“Ah sudahlah” aku berkata dalam hati sembari
kembali masuk ke dalam rumah. Aku segera
meraih iPodku, kupasang headset dan
memencet tombol shuffle. Kunyalakan AC
kamarku dan merebahkan diri. Aku sedang
ingin sendiri.
__
Seminggu ini aku sibuk, banyak tugas yang
harus kuselesaikan. Ririn juga seperti
menikmati waktunya dengan Wisnu. Sampai
suatu sore ia menyuruhku datang kerumahnya.
Kami duduk berdua di teras.
“Gas, Wisnu tuh orangnya gimana sih?”
Aku sedikit kaget dengan pertanyaan Ririn.
“Hmmm, asik sih. Anak muda banget , anak
orang berada, jadi jangan kaget kalau dia agak
manja.” Jawabku sembari tersenyum.
“Kapan dia terakhir pacaran?” lanjut Ririn.
“Weiiits, sabar neng. Jadi gue kemari cuma
untuk diinterogasi nih?” aku menggodanya.
“Ih Bagas! Rese lo. Cepet jawab” kata Ririn
dengan sedikit mengancam. Matanya melotot.
Anehnya, ia semakin menarik untuk dilihat.
Aku tertegun melihatnya sampai akhirnya dia
menoyor kepalaku. Ririn tertawa. Aku tertawa.
Bahagia. Aku menceritakan semua tentang
Wisnu kepada Ririn, tentang bagaimana cerita
cinta Wisnu hingga sampai Wisnu yang jadi
seorang selingkuhan.
“Lo suka sama Wisnu kan? I mean selama chat
nyambung? Nyaman?” tanyaku. Ririn
mengangguk pelan. Perasaan aneh yang
sama kembali menyergapku. Hari setelah sore
ini kami tenggelam dalam kesibukan masing-
masing. Aku dengan tugas yang seabrek, Ririn
dengan kerjaannya. Oh, jangan lupakan Wisnu
juga. Tak bertemu dengan Ririn belakangan ini
membuatku sadar, seperti ada yang hilang.
Sejujurnya, aku merindukan RIrin, merindukan
tawanya, merindukan cubitan-cubitan kecilnya
di lenganku.
__
Kuambil sepotong roti bakar keju yang ada di
depanku. Biasanya Ririnlah yang menemaniku
tapi berhubung Ririn bilang dia sudah ada janji
dengan Wisnu alhasil aku berada di sini
seorang diri. Malam ini angin bertiup sedikit
lebih kencang. Aku menaikkan resleting jaket
yang kupakai karena hawa dingin menyusup
dan menyapa tulang-tulangku. Kuseruput kopi
hangat untuk membantu menghangatkan diri.
Ada yang mengganggu pikiranku. Ririn.
Semenjak dia dekat dengan Wisnu aku sering
terganggu dengan perasaan yang tak
menentu.
“Apa ini rindu? Apa ini perasaan cemburu?”
tanyaku dalam hati sambil mendongak keatas,
menghembuskan asap rokok sembari melihat
bulan yang sedang purnama.
3 tahun kuhabiskan waktuku bersama Ririn,
tawa kita lewati bersama, duka pun kita nikmati
berdua.
Aku hanya takut jika ini cinta. Cinta
karena terbiasa bersama atau “witing tresno
jalaran soko kulino” kalau orang Jawa bilang.
Nyatanya semenjak Ririn dekat dengan Wisnu
ada hal yang mengusik ketenanganku. Aku
cemburu, harus kuakui itu. Aku tak ingin Ririn
sakit hati kembali karena aku tahu Wisnu
masih terikat hatinya pada Adel, wanita yang
membuat Wisnu bertekuk lutut.
“Aku jatuh hati, Rin.” Ujarku dalam hati sambil
menghela nafas panjang.
__
“Gas..”
“Ya?” Ririn tiba tiba saja masuk ke kamarku,
mengagetkanku yang sedang asyik
mendengarkan lagu.
“Tanggung jawab.”
“Waduh! Paan?”
“Gue jatuh cinta sama Wisnu!”
Dheg!
“Lo yang ngenalin gue sama Wisnu, gue jatuh
cinta sama dia dan dianya ngga jelas” lanjut
Ririn.
“Lah, gue pikir kaliab baik-baik aja. No news is
good news kan biasanya” jawabku asal sambil
berusaha menormalkan kembali degup
jantungku atas apa yang barusan Ririn bilang.
“Hmmm..”
“Kenapa, Rin?” aku melihat wajahnya murung,
mungkin awan di atas kepalanya sedang
mendung. Aku tak bisa melihat Ririn sedih
seperti ini. Ririn menceritakan apa yang
dialaminya akhir-akhir ini bersama Wisnu. Aku
mendengarkannya dan tanpa Ririn sadari aku
sedang berusaha setengah mati untuk terlihat
biasa saja. Aku meraih tangan Ririn.
“Rin, maafin gue. Kalau gue ngga kenalin lo ke
Wisnu, gak akan kayak gini ceritanya. Gue
cuma pengen lo senyum lagi. Itu aja. Maaf
kalau harus jadi seperti ini akhirnya.” Ririn
menarik tangannya, ia berdiri dan keluar dari
kamarku tanpa sepatah katapun. Detik itu juga
perasaan kehilangan datang menemaniku.
Menggantikan Ririn yang meninggalkanku.
Semalaman aku tak bisa tidur, masih
memikirkan Ririn.
__
Keesokan harinya, hari wisuda Wisnu.
“Ririn pasti ada disana.” Pikirku.
Tiba-tiba Blackberryku berbunyi. Dari Ririn.
“Gas! Wisnu..”
“Hoi, kenapa Rin? Kok lo ngos-ngosan gini?
Kenapa Wisnu?”
“Ke tempat parkir sekarang. Di depan Wisnu
tiba-tiba pergi ninggalin gue, mukanya panik
dan sedih, tolong ikutin dia, jagain dia, tolong
Gas.. tolong jaga dia”
“Oke gue ambil motor sekarang, gue kayaknya
tahu dia kemana.” Aku langsung menutup
telpon dari Ririn dan segera ke parkiran untuk
mengambil motor. Kucoba untuk menghubungi
Ririn. Tak dijawabnya. Kucoba sekali lagi dan
baru pada usahaku yang ketiga akhirnya Ririn
menjawab.
“Rin, ke Jalan Santoso no 43 sekarang, itu
rumah Wisnu, nanti gue bawa dia kesana.”
“Lo di mana? Ketemu..” suara Ririn dari
seberang yang terdengar samar-samar.
Segera kuakhiri teleponku dan kumasukkan
Blackberryku ke saku.
Aku tahu Wisnu pasti ke pernikahannya Adel
“Sudah gila tuh anak!” umpatku.
Kupercepat laju motorku.
__
“Wisnu” aku menariknya, menjauh dari
kerumunan dan dari Adel tentunya.
“Nu, lo gila apa?! Masih aja ngarepin Adel,
gue pikir dengan jalannya lo sama Ririn lo
udah lupain Adel. Sinting lo, Nu!” nafasku
belum juga beraturan, tapi demi Ririn, biarlah.
“Kenapa lo bisa di sini?” Tanya Wisnu.
“Ririn”
“Ririn telpon gue dan bilang lo tiba-tiba lari
sehabis keluar sidang, dia ngejar lo sambil
telepon gue dan minta gue jagain lo, ngejar lo.
Gue langsung ngambil motor, nyari, ngikutin lo.
Dan ternyata lo kemari..” pikiranku masih
kacau. Ririn pasti sedih melihat Wisnu seperti
ini.
“Maafkan aku Rin, aku tak bermaksut seperti
ini.” Sesalku dalam hati.
“Gila lo ye, masih aja ngarepin perempuan
kayak gitu.” Ucapku sambil menunjuk rumah
Adel dan tanganku masih mencengkeram
lengan Wisnu. Menahannya. Perlahan,
nafasku kembali pada ritme yang seharusnya.
“Gue ngga bisa bohongin hati gue, Gas.. Gue
cinta sama Adel.”
“Lo liat sekarang? Apa Adel cinta sama lo?
Kalau dia cinta sama lo dia ngga mungkin
ninggalin lo. Mau sampai kapan lo diinjak-injak
sama perasaan ngga jelas kaya gini?”
“Maksud lo?” ucap Wisnu dengan nada tidak
suka
“Harga diri lo udah diinjek-injek sama dia sejak
lo mau jadi selingkuhannya, nunggu dia
percaya, nunggu dia ninggalin tunangannya.
Harga diri lo mana? Kalau lo udah ngga bisa
nyelamatin hati, setidaknya lo selametin tuh
harga diri lo. Lo laki Nu!”
“Emang laki-laki ngga boleh cinta setengah
mati? Ngga boleh setia nunggu? Cuma Adel
yang di hati gue Gas!” balas Wisnu dengan
emosi.
“Ririn, maafkan aku. Kalau akhirnya seperti ini
aku ngga mungkin ngenalin kamu sama
Wisnu.” Batinku.
“Boleh Nu! Boleh! Asal ada gunanya, Asal
segala tai kucing yang baru aja lo utarain ke
gue cuma nyakitin diri lo sendiri doang, gak
nyakitin orang lain! Gak nyakitin Ririn! Lo tau
kan Ririn udah gue anggep sahabat gue
sendiri? Dia udah sayang banget sama lo eh
malah elonya kaya gini.”
Hatiku hancur. Jadi seperti ini rasanya
menghancurkan hati orang yang kita cintai?
“Shit!” Wisnu berteriak.
“Ririn menunggu di rumah lo, selametin dia.”
Aku menuntunnya masuk ke mobil.
Kutinggalkan motorku dan kuantarnya pulang.
__
“Ririn tuh..”aku menyadarkan Wisnu yang
sepanjang perjalanan hanya tertunduk dan
melamun. Aku melihat wajah Ririn juga sama
lesunya dengan Wisnu. Seandainya aku bisa
memeluknya. Bagas keluar dari mobil dengan
langkah gontai, menghampiri Ririn. Sementara
aku segera pamit mengambil motor setelah
mengantar Wisnu masuk.
__
Di dalam mobil kuletakkan kepalaku di stir. Aku
merasa bersalah kepada Ririn. Tak
seharusnya ku biarkan Ririn terluka.
“Maafkan aku Rin! Maafkan aku.” Ucapku di
dalam hati. “Bukan aku yang akan bahagia
bersamamu, tapi Wisnu.”
Nyatanya, aku tak cukup berani untuk
memberitahukan apa yang aku rasa kepada
Ririn. Aku terlalu takut merusak segalanya. We
can’t be a lover and a friend in the same time.
Kuraih iPod dari dalam tasku, kupasang
headset dan kupencet shuffle
“Pernah ku simpan jauh rasa ini. Berdua jalani
cerita. Kau ciptakan mimpiku, jujurku hanya
sesalkan diriku.”
“Kau tinggalkan mimpiku, dan itu hanya
sesalkan diriku.”
“Ku harus lepaskanmu, melupakan senyummu.
Semua tentangmu, tentangku hanya harap.
Jauh ku jauh, mimpiku dengan inginku.”
“Aku sayang kamu, Rin.” ucapku lirih.
-end-
Bagian dari #CerpenPeterpan - “(adakah
sedikit) Tentang Kita?” milik Eka Otto
Bagas - Jauh Mimpiku (Peterpan)

http://adityaistyana.tumblr.com/post/28506120900/cerpen-peterpan-se-jauh-ini-mimpiku

Posting Komentar

0 Komentar